Sejauh ini, gimana perasaan kalian saat membaca cerita ini?
Terserah kamu mau melangkah seberapa jauh, tapi kalau kamu tidak mencoba, kamu tidak akan pernah tau.
Rengganis Ayu Anjani
—————
Kakak itu kebanggaan bapak sama ibu, gimana rasanya dibanggain, Kak? Pasti bahagia
Saat ucapan Naya waktu itu terlintas dipikiran, Ganis tertawa pelan, lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri. Sejauh ini banyak yang ia lewatkan, waktu remajanya hanya dihabiskan untuk belajar. Dulu sekali Ganis pernah berpikir, kalau dia rajin belajar mungkin ibu akan bangga padanya, hidupnya juga akan bahagia, namun ternyata tidak semudah itu.
Yang tadinya ingin bahagia, Ganis malah hampir tidak pernah bahagia. Ganis tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan bapak, Ganis tidak pernah mengobrol di ruas jalanan di sore hari seperti yang teman-temannya lakukan, Ganis tidak pernah tertawa ria dikantin sekolah. Yang Ganis lakukan hanyalah belajar dan belajar.
Mungkin itu sebabnya, setelah kepergian bapak Ganis jadi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Satya, berasama Ibu, atau sekedar mendengarkan cerita konyol Naya. Ganis benar-benar tidak ingin kehilangan momen lagi, tidak akan pernah.
Ketukan pintu secara brutal berhasil membuyarkan pikirannya, malam-malam begini untuk apa?
Saat pintu itu dibuka, seseorang dengan kaos jersey dan celana pendek selutut berdiri tegak, mimik wajahnya terlihat bahagia karena berhasil mengganggu Ganis.
“Tau waktu dong, Bang. Inikan udah malem!” ketus Ganis, gadis itu melangkah lamat-lamat, membawanya untuk duduk dipinggiran kasur.
“Yaelah, baru jam sepuluh juga.” Laki-laki yang tak lain adalah Satya itu melangkah masuk, perlahan pintunya ia tutup.
“Naya udah tidur, gimana kalo nanti dia kebangun? Kasihan lho, dia pasti capek.”
“Lo juga capek, kan? Kenapa belum tidur?” Satya mendudukkan bokongnya pada kursi, lampu kamar ini terlihat temaram, tidak seterang lampu kamar miliknya.
Ganis hanya diam, Satya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar yang lebih rapih daripada kamarnya. Barang-barang dikamar ini tertata rapih, tidak seperti kamarnya yang kadang-kadang berserakan.
“Lagi belajar, Nis?”
“Barusan mau tidur,” jawab Ganis.
“Kerjaan lo belajar terus dari dulu, prestasi emang sepenting itu ya buat lo?”
“Abang kemarin ke bandung 'kan? Gimana kabar Meisa?” Ganis mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Juara tiga lomba essai ilmiah tingkat nasional. Juara satu lomba pidato bahasa inggris tingkat kabupaten. Juara satu karya tulis ilmiah tingkat provinsi.” Alih-alih menjawab pertanyaan adiknya, Satya malah membaca piagam-piagam penghargaan yang ditempel pada dinding kamar.
Tatapannya ia kembalikan pada Rengganis. “Itu semua gak cukup ya buat lo?” Tanya Satya.
“Abang gak bakalan ngerti!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...