Dukung cerita ini dengan kritik yang membangun. Juga komentar yang bikin aku semangat tentunyaa😁
Aku bisa mengucapkan selamat tinggal berulang-ulang kali, tapi aku masih tidak tahu caranya untuk pergi.Bastara Angkasa Raya
—————
Disudut kamar yang temaram, Tara merintih pelan. Kepalanya sakit bukan main, padahal seharian ini dia tidak pergi ke mana-mana. Dengan langkah gontai Tara menyusuri tembok, berjalan keluar setelah membuka pintu kamar.
Tidak ada siapa-siapa disini, sore ini Satya meminta ijin untuk pulang malam, katanya tim bola kesayangannya akan tanding malam ini. Kana pergi untuk menjemput Naya yang katanya pulang larut sore karena harus mengikuti kegiatan di sekolah. Ibu pergi untuk mengantar kue pesanan pelanggannya. Sementara Rengganis masih belum pulang sejak tadi pagi.
“Anin...”
Disaat-saat seperti ini, hanya satu nama yang selalu Tara sebutkan, yaitu Anindita. Seolah-olah hanya Anin yang bisa membuat keadaannya membaik, seolah-olah hanya gadis itu yang mampu mengobatinya.
Tara mendudukkan bokongnya pada sofa, beberapa kali juga tangannya memijat pelipisnya, kepalanya terasa nyeri bukan main, seolah-olah dilempari batu-batu yang besar dan tajam.
“Ternyata kamu masih sama ya. Kamu masih sering lupa minum obat.”
Pandangannya mengedar kala suara yang sering ia rindukan itu terdengar. Pundaknya menghangat kemudian ia menoleh ke belakang. Tatapannya berubah menjadi nanar saat alasan rindunya ada, bahkan dia berdiri dibelakanganya.
“Anin ... I-itu kamu 'kan?”
Laki-laki itu mendadak merasa linglung, sosok gadis dihadapannya benar-benar terlihat nyata. Pakaiannya persis dengan pakaian yang terakhir kali ia pakai.
Tara tersenyum saat gadis itu memberi anggukan. “Kamu kemana aja, An. Kamu lupa sama aku? Kamu lupa kalau aku selalu nunggu kamu? Kamu lupain aku, An?”
Bukan penjelasan panjang seperti tahun-tahun yang lalu, gadis itu malah tersenyum. “Lupa yang seperti apa, Tara?” ucapnya.
“Aku gak bisa lupain kamu,” lanjutnya.
Tara takut untuk memejamkan mata, Tara takut kalau sewaktu-waktu gadis itu akan menghilang lagi, itu sebabnya Tara buru-buru menarik kedua telapak tangannya untuk Tara genggam seerat mungkin.
Tara menggeleng. “Jangan pergi lagi, aku mohon,” pintanya dengan lirih.
“Tara ... Sejauh apapun aku pergi, cintaku masih disini.” ucapnya.
“Aku mohon, kamu harus bisa.”
Tara menggeleng cepat.
“Kamu harus melupakan aku. Biarkan aku yang tidak akan melupakanmu.”
“Enggak!”
“Harus bisa ... Ijinkan aku untuk tenang.”
Tara menggeleng lagi. “Aku sakit kalo kamu gak ada,” katanya dengan lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...