Jalan tenggara, dimana di sepanjang jalannya kita tidak akan merasa kesepian. Selalu ada anak kecil yang berlarian, bapak-bapak yang menertawakan sebuah lelucon, atau sekedar kucing liar yang mengeong dipinggir jalan.
Dan kali ini Tara sedang merasakannya. Sepanjang jalanan menuju rumahnya tidak pernah sepi, suasanya selalu terasa hangat, mungkin itu yang membuat Tara selalu merasa rindu pada tempat ini.
Sebenarnya jalan menuju rumahnya itu cukup lebar, kendaraan roda empat juga bisa masuk, tapi Tara memutuskan untuk berjalan kaki, katanya untuk mengenang masa abu-abunya yang dimana dia selalu berjalan kaki menuju rumah setiap sore.
Sama seperti dugaanya, saat pintu berwarna coklat bertuliskan 09 yang beberapa bagian kayunya sudah mengelupas itu dibuka, wangi masakan ibu langsung menyeruak. Jujur saja kalau Tara sudah sangat rindu.
Disana ada Arsatya Teduh Sarengga, laki-laki berumur 26 tahun yang hobinya nongkrong diwarung laperpool.
Yang disebelahnya adalah Arkana Dinan Prawangga, anak bapak nomor keempat, umurnya masih 20 tahun, masih bocah kalau kata Tara.
"Mas Taraa!"
Dan suara yang memekakkan telinga itu milik Ranayya Kejora Arshelin, anak bungsu bapak yang baru saja pulang sekolah, bocah itu masih mengenakan seragam putih abu-abunya.
Naya langsung menyalami kakak tertuanya itu.
"Mas Tara mau pulang kok gak bilang dulu sama aku?"
"Emangnya harus?"
"Harus atuh! Kan nanti aku masakin yang banyak." Ranaya menyengir.
Tara mengacak rambutnya dibalik hijab. "Kayak kamu bisa masak aja!"
Naya merengut kesal. "Bisa atuh Mas, Naya mah bisa masak telor!"
"Iyain aja, Mas boleh masuk sekarang, kan? Pegel daritadi berdiri terus."
Naya langsung mengangguk seraya membuka pintu lebar-lebar.
Bastara Angkasa Raya tersenyum lebar saat melihat tulisan di dinding rumahnya.
Selamat ulang tahun Bastara Angkasa Raya
Tara terlalu semangat untuk pulang, sampai-sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ketiga puluh.
.
.
.
BersambungSelamat datang, dan jangan lupa bahagia.
Kemari, dan rasakan kehangatannya, selamat bergabung dengan keluarga bapak Hanan Hatmaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Fiksi RemajaDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...