Aku penulis amatir yang butuh saran dan kritikan dari kalian, jadi jangan sungkan untuk mengkritik, agar kedepannya bisa lebih baik.
Yang paling kuat juga ada kalanya mereka mundur, hancur, lebur.
Bastara Angkasa Raya
—————
Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali Tara memandang kota ini. Kendaraan saling membalas membunyikan klakson, ruas jalan yang selalu ramai, juga pengemis jalanan yang semakin bertebaran di pinggirannya.
Terkadang Tara merasa muak dengan segala kebisingan yang ada di kota ini. Tapi setiap kali Tara pulang, jalan tenggara seolah memberi kehangatan. Mungkin itu yang selalu membuat Tara rindu pada yang namanya pulang.
Namun, kepulangannya di tahun lalu sangat tidak menyenangkan. Alih-alih disambut dengan kehangatan, Tara malah dibiarkan kedinginan. Waktu itu bapak masih sehat, bahkan Tara masih ingat ketika bapak mengantarkannya sampai ke depan, dan pria paruh baya itu berbisik.
“Jaga kesehatan, kalo ada yang cantik tapi seumuran bapak, jangan lupa karungin.”
Tara terkekeh pelan, kemudian menyalami bapak. Sebelum Tara benar-benar memasuki mobil, Tara sempat melihat cengirannya yang khas. Dua minggu setelahnya tiba-tiba Satya menelepon, katanya dia akan pergi keluar pulau, sebelum berangkat dia ingin melihat semua saudaranya dulu, termasuk Tara.
Dan disitulah Tara mulai merasa aneh, jalan tenggara tidak seramai biasanya, jalan itu benar-benar sepi, seolah penghuninya telah pergi ke suatu tempat bersama-sama.
Tara mengerutkan dahi ketika rumahnya dilingkupi keramaian, alih-alih berlindung karena sebentar lagi hujan akan turun, mereka malah melingkupi rumahnya. Tara mencoba berpikir positif, mungkin Satya mengumumkan pada seluruh warga kalau dia akan berangkat, dan mereka ingin bertemu dengan Satya sebelum laki-laki itu benar-benar pergi.
Prediksinya benar, hujan benar-benar turun saat Tara mulai berjalan mendekat, pikirannya mulai tidak jernih saat melihat Satya berlari keluar menerobos orang-orang juga menerobos hujan, adiknya itu menangis, menangisi suatu hal yang Tara tidak mengerti.
Ingin sekali Tara menghampiri Satya, namun saat mendengar suara isak tangis dari dalam, Tara berlari masuk ke dalam rumah, tapi begitu ia sampai di ruang tengah, sekujur tubuhnya tiba-tiba saja membeku, jantungnya berdegup tak karuan. Tara merasakan ada yang mengusap punggungnya.
Disana, ibu terisak kencang, disebelahnya juga ada Naya yang menangis didalam pelukan Kana, dan disisi yang lain ada Rengganis dengan tatapan kosong ke depan. Tak peduli dengan baju yang basah, Tara mendekati ibu yang terduduk lesu, beberapa kali Tara bertanya tapi ibu enggan menjawab.
Saat kain batik itu dibuka, jantungnya serasa dihujam oleh ribuan pisau, jejemari tangannya bergetar hebat, napasnya tercekat, pandangan matanya mulai memburam.
“MAS TARAA!”
Lagi-lagi Naya menyelamatkan Tara dari perasaan sedih, ingatannya tentang hari itu tiba-tiba hilang saat motor Satya diparkirkan didepan rumah, kemudian dengan senyum lebar Naya turun dari motor, lalu berlari ke arahnya.
“Buruan masuk, ibu khawatir sama kamu, siap-siap di omeli.”
Naya menyengir seraya mengangkat kantong kreseknya. “Tenang aja, Mas. Masih bisa aku sogok.” Adik bungsunya itu melepas sepatunya, kemudian berjalan memasuki rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...