O6; final decision

2.7K 504 122
                                    

Minggu tiba.

Dari kemarin rumah Kaila sudah disibukkan oleh persiapan untuk menyambut kedatangan Ala dan keluarganya. Kaila sendiri tak ikut campur, ia lebih memilih mengurusi pekerjaannya ketimbang riweuh si Mama yang dirasa tak kunjung selesai.

Rumah yang biasanya terasa sepi kini penuh dengan canda tawa saudara-saudara keluarga Kaila yang juga ikut datang meramaikan. Membuat Kaila sebal saja sebab merasa mereka terlalu berlebihan hanya untuk menyambut pemuda tengil kurang ajar itu.

"Kai, udah selesai belom?" Stella juga ikut datang kemari menemani Kaila.

Gadis berambut panjang itu masih duduk melamun di depan meja riasnya, kedatangan Stella masuk ke kamar spontan mengalihkan atensi Kaila dari pemikirannya sendiri, "Belom, bentar lagi."

"Lama banget elah, sini gue bantuin make up," ujar Stella mendekat, "Kirain diem di kamar siap-siap taunya baru pake baju doang—ini rambut lo mau gue apain? Iket satu apa mau gue kepang?"

"Urai aja, catok," jawab Kaila, menyugar rambutnya ke belakang.

"Oke, gue ambilin dulu." Stella menoleh ke seperangkat alat make up Kaila di atas meja tersebut, "Gue bantu rambut aja, lo bisa kan make up sendiri?"

"Iyaaa."

Stella terkekeh, sambil membawa alat pencatok rambut di tangannya, "Kenapa sih suara lo kek lesu gak ada tenaganya, semangat dikit dong kan mau ketemu calon suami!"

"Ck!" Kaila bukannya semangat, malah berdecak. Menimbulkan tawa geli Stella, gini-gini paham sih sahabatnya sedang di fase dilema luar biasa.

"Udah telat, Kai. Kalo mau lo batalin, keluarga lo udah heboh banget ini, mungkin keluarganya si Nihala juga sama," sahut Stella, tangannya mulai menyisiri rambut panjang Kaila, "Terima aja lah, ikhlas, siapa tau Nihala emang jodoh terbaik buat lo."

"Gue bingung, La." Kaila memaku tatapnya pada Stella dari balik cermin di hadapan mereka, "Rasanya aneh, kenapa si Ala ngotot banget mau nikahin gue? Kayak semudah itu dia setuju dijodohin sama gue, menurut lo dia punya maksud tersendiri gak sih?"

"Ah elu, pikirannya negatif mulu," sambar Stella menyahuti, "Siapa tau emang dia suka sama lo, istilahnya jatuh cinta pada pandangan pertama—"

"Halah, bullshit. Mana ada yang begitu!"

"Loh, bisa jadi? Semua yang ada di dunia ini gak ada yang gak mungkin, Kai."

"Lo gak tau, La. Kelakuan dia tuh buat gue mikir keras, baru ini liat ada cowok ditolak terang-terangan malah makin jadi, gue bilang jangan dia malah iya, lo jadi gue pasti pusing dah."

"Gue balik, misalnya dia beneran naksir lo di pertemuan pertama, lo mau bilang apa?" ujar Stella menatap lekat temannya, "Kalo udah naksir, bisa aja tuh dia emang langsung ada niat sama lo, mungkin selama ini semua yang dia cari di perempuan ada di lo, makanya dia tanpa ragu mau serius sama lo."

Kaila mendengus pelan, tak bisa menjawab perkataan Stella karena itu ada kemungkinan benarnya.

"Terima aja, Javier bilang Ala anaknya baik kok." Stella mengelus bahu Kaila pelan, "Kata Javier anaknya beneran the man well-educated, lo pasti diratukan banget sama dia, coba aja Kai—siapa tau sensasinya bisa buat lo bisa ngelupain total Karen bajingan itu."

Stella menaik-turunkan alisnya, "Brondong tuh lebih menggoda tau."

Kaila akhirnya diam dengan pemikirannya sendiri, membiarkan Stella mengotak-atik rambutnya, sedangkan ia mulai membubuhkan make up tipis ke wajahnya yang sudah cantik. Selesai dengan semua itu, Stella lalu berpamitan keluar kamar lebih dulu, hendak ke dapur ambil minum katanya.

After Met YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang