Beda dari hari biasanya dimana Ala akan menyambut Kaila dengan pertanyaan basa-basi tentang apa yang terjadi sepanjang hari. Sejak kemarin sore, Ala lebih banyak diam tak banyak bicara pada Kaila.
Kaila paham mereka memang saling menghindari akibat insiden malam itu, namun rasa-rasanya sikap diam Ala kali ini sedikit berbeda. Pemuda itu terkesan tak peduli, melengos begitu saja tanpa ingin mengutarakan satu dua kata untuk Kaila.
Apa efek kalimat 'adek' benar-benar membuatnya marah?
"Mau telur ceplok gak, La?" tanya Kaila paginya saat mereka tengah menikmati sarapan, Ala sudah duduk di meja makan menyantap nasi goreng buatan Kaila—untungnya Ala tak menolak untuk makan masakan Kaila.
"Boleh," jawab Ala singkat.
Kaila tersenyum tipis, ia menyisihkan telur goreng yang dimasaknya di atas teflon ke atas piring. Kemudian Kaila mematikan kompor, mengambil langkah mendekat ke meja makan sambil membawa piring berisi nasi goreng untuknya juga.
"Ini," kata Kaila memberikan telur bikinannya ke Ala, Ala hanya mengangguk tanpa bersuara, tanpa mengucap terima kasih seperti biasa. Kaila lagi-lagi mengelus lengannya kikuk karena atmosfir di antara mereka benar-benar kurang menyenangkan.
"Hari ini pulang jam berapa, La?" Kaila bertanya, berusaha terlihat sebiasa mungkin, walau dirinya tak bisa mengerti kenapa detak jantungnya sedikit berdesir takut mendapat perlakuan dingin dari Ala. Aneh, rasanya tak menyenangkan.
"Free, gua gak kerja hari ini."
"Oh iya..." Setelahnya Kaila mati kutu lagi, bingung harus bilang apalagi, sialnya Ala juga terlihat tak ingin membuka topik lagi. Alhasil pagi itu berujung menjadi sesi sarapan dalam diam, hening, fokus pada diri masing-masing.
Selesai makan, Ala menaruh piringnya ke wastafel, langsung mencucinya sendiri tanpa menunggu Kaila menghabiskan makanannya. Tak lama Kaila menyusul, mereka berdiri saling membelakangi, Ala menuangkan air ke dalam gelas sedangkan Kaila mencuci piringnya sendiri.
"Ala, marah ya sama gue?" ujar Kaila pelan, memberanikan diri mengambil tindakan bertanya daripada mereka makin canggung ke depannya, "Lo gak suka gue panggil adek?"
Ala melirik sekilas, lagi-lagi tidak memberi jawaban. Diamnya Ala membuat Kaila mencebikkan bibirnya ke bawah.
"Lo juga kadang manggil gue Kakak, gue gak marah tuh sama lo," sahut Kaila sambil mengelap tangannya yang basah dengan serbet, gadis itu bergeser untuk mengambil buah dari dalam kulkas, mulutnya masih lanjut berbicara, "Gue kan gak salah, lo emang lebih muda dari gue."
"Gua suami, bukan adek lo. Beda."
Kaila berbalik badan menatap Ala yang berdiri tak jauh di belakangnya, rautnya masih datar menatap Kaila, "Gue juga bukan Kakak lo."
"Tapi lo suka kan gua panggil Kakak?" skak. Kaila tak bisa menjawab, keterdiamannya menimbulkan ulasan senyum mengejek dari Ala, "Beda, kalo lo manggil gua adek, gua ngerasa gak dihargai sebagai suami lo, Kayi."
Pandangan Kaila menunduk, memilih menatap buah apel di tangannya, pura-pura sibuk mencari pisau dapur ketimbang menghadapi tatapan Ala yang lebih tajam dari pisau yang ia cari. Kaila merutuk dalam hati, kenapa ia jadi takut-takut begini sama Ala?!
"Ya-yaudah maaf." shit. Kaila makin mendengus sebal, perkataannya tergagap.
Ala berniat tak ingin meladeni Kaila lebih lanjut, membiarkan masalah ini reda sendiri. Ia ingin putar arah berbalik ke kamar, tapi apa yang dilakukan gadis itu selanjutnya justru membuat Ala mau tak mau reflek mendekatinya. Buah apel di tangan Kaila jatuh, begitu juga pisaunya, Kaila menekan ujung jarinya yang berdarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Met You
Romance[end] Akibat terlalu sibuk menitih karir, Kaila berhasil membuahkan perasaan khawatir keluarga karena gadis itu enggak kunjung menemukan hilal jodoh di usia-nya yang sudah melewati garis 25. Lelah terus dicecer pertanyaan semacam itu, Kaila akhirnya...