"Gimana kamu bisa tau?"
Ala yang hendak menyuapkan sendok berisi puding caramel ke mulutnya itu kontan berhenti, ia beralih menatap sang istri yang baru saja melontarkan pertanyaan padanya. Keduanya sedang makan malam di sebuah resto cepat saji di salah satu pusat perbelanjaan Ibukota.
"Apa?" pemuda itu balik bertanya, karena jujur kurang mengerti konteks apa yang ditanyakan Kaila.
"Mas Ala kenapa bisa tau aku ada disana? Itu jauh loh dari kota," lanjut Kaila menjelaskan, mempertanyakan kejadian beberapa bulan lalu yang jujur masih membuatnya meninggalkan sebuah kebingungan. Kaila baru berani bertanya sekarang.
Ala mengerjapkan matanya pelan, kemudian mengangguk-ngangguk pelan memahami maksud Kaila. Tanpa aba-aba, secara mendadak Ala meraih tangan Kaila, membuat si empunya kebingungan karena tangannya tiba-tiba diangkat Ala.
"Ini," tunjuk Ala pada cincin yang tersemat di jari Kaila, cincin yang ia berikan sebagai hadiah beberapa waktu lalu.
Gantian Kaila yang mengerjapkan matanya bingung, "Hah?"
"Cincin ini, ada chip pelacaknya," jawab Ala mengagetkan Kaila, "Maaf, sayang—aku gak bermaksud ngelakuin penguntitan ke kamu atau gimana, aku cuma khawatir, belakangan aku suka gelisah kepikiran kamu yang kena teror orang gak jelas, jadi aku minta Rafa buat atur beliin cincin ini. Aku takut kamu kenapa-kenapa kalo jauh dari jangkauan aku."
Kaila kehilangan kata-katanya. Masih terkejut mendengar penuturan Ala yang sangat spesifik mengakui apa yang telah ia lakukan.
"Pantes, kamu mati-matian minta aku gak boleh lepasin cincin ini...." Kaila berkata pelan, matanya ikut menatap cincin berwarna silver yang tersemat di salah satu jari tangannya tersebut.
"Tapi firasat aku gak meleset sama sekali, aku bersyukur kamu gak kenapa-kenapa," kata Ala, beralih mengusap lembut punggung tangan Kaila, "You are the most important person to me, jadi kamu gak boleh kenapa-kenapa, aku bisa gila kalo kamu kenapa-kenapa."
Kaila menelan ludah pelan, melihat kesungguhan di dalam binar mata Ala saat mengatakan hal itu membuat detak jantungnya berdegub tak karuan. Apa pun yang dilakukan Ala padanya benar-benar terasa penuh cinta dan kasih sayang, sesuatu yang sampai saat ini Kaila sesalkan karena ia belum membalas sayang itu sama besarnya.
"Kamu gak marah kan, sayang?"
"Enggak." Kaila menggeleng pelan, "Aku enggak marah, justru aku berterimakasih sama kamu karena udah peka sama semua hal di sekitar aku, makasih udah ngejaga aku sesuai janji kamu ke orang tua aku, makasih juga udah ngasih rasa penuh sayang, aku bahagia sama kamu."
Kaila balik menggenggam tangan Ala, "Mas Ala udah ngelakuin yang terbaik, semua hal tanpa terkecuali, kamu ngasih tau ke aku kalo pernikahan gak seburuk itu meski berawal dari perjodohan yang gak dikenal, kamu kasih aku perasaan sayang yang penuh, buat aku ngerasa disayang banget sama kamu, makasih ya."
Ala terdiam mendengarnya, ia mengerjapkan matanya lamban, jantungnya berdetak keluar jalur akibat pengakuan Kaila. "'Maaf, sayang—bisa gak kita bahasnya di tempat yang lebih intimate? Tempat ini terbuka banget buat pengakuan kamu."
Kaila terbahak, melepas genggaman tangannya pada Ala, "Intimate? Maksud kamu dimana? Ini sepi juga kok, gak ada yang denger."
"Di apartemen lah, di atas kasur, berdua pelukan sayang-sayangan—"
"Yeee, itu mah maunya kamu!" Kaila memukul pelan bahu kokoh suaminya, Ala terkikik geli, "Ujungnya nyasar ke yang lain."
"Loh? Aku gak ada mikir kesana ya," ujar Ala membantah, "Pikiran kamu tuh kemana hayo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After Met You
Romance[end] Akibat terlalu sibuk menitih karir, Kaila berhasil membuahkan perasaan khawatir keluarga karena gadis itu enggak kunjung menemukan hilal jodoh di usia-nya yang sudah melewati garis 25. Lelah terus dicecer pertanyaan semacam itu, Kaila akhirnya...