Keesokan paginya, Eza terbangun dan segera menoleh ke sampingnya, namun mendapati tempat tidur kosong. Kiska tidak ada di sana. Dengan rasa cemas yang mendadak muncul, Eza bangun dan mulai mencari Kiska di seluruh rumah. Namun, setelah memeriksa setiap sudut, dia tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Kiska.
Panik, Eza bergegas keluar rumah. Di tengah halaman yang luas, dia akhirnya melihat Kiska, duduk jongkok di tanah, menangis dengan putus asa. Hati Eza terasa berat melihatnya seperti itu. Ia berjalan mendekati Kiska, namun Kiska menyadari langkah Eza yang mendekat dan segera berdiri, lalu mulai berjalan mundur, menjauh dari Eza.
"Stop, Mas!" seru Kiska dengan suara serak, tangannya terangkat seolah memberi isyarat untuk menghentikan langkah Eza.
Eza berhenti, berdiri beberapa meter di hadapan Kiska, mencoba memahami perasaan wanita yang dicintainya. "Sayang, kenapa kamu di sini?" tanyanya dengan nada lembut, meski jelas terlihat kegelisahan di wajahnya.
Kiska berteriak dengan penuh emosi, "Stop panggil aku sayang!" Suaranya yang melengking membuat Eza terkejut, langkahnya terhenti seketika. Hening sejenak, sebelum Eza berusaha meredakan ketegangan dengan suara yang lebih dalam, "Kiska, jangan buat Mas marah."
Namun, air mata Kiska mengalir semakin deras. Dengan nada penuh luka, ia menjawab, "Apa? Mas mau kurung Kiska lagi? Mas mau ikat Kiska lagi kayak binatang peliharaan, hah? Atau apa, Mas mau gimana lagi ke Kiska?"
Eza terdiam, menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mas lakuin semua itu karena Mas cinta sama kamu, Kis," jawabnya pelan, namun Kiska hanya tertawa pahit, suaranya getir dan penuh kepedihan.
"Cinta? Ga ada cinta yang seperti itu, Mas. Mas ngebuat aku kehilangan jati diri aku, Mas ancam aku, Mas siksa aku, Mas manipulasi aku. Itu bukan cinta, Mas. Itu obsesi gila Mas ke aku." Kata-kata Kiska menembus dinding keras di hati Eza, membuatnya terdiam, tercengang oleh kejujuran yang terlontar dari mulut Kiska.
Tangis Kiska semakin menjadi-jadi, tubuhnya melemah hingga ia terduduk di tanah, tak lagi mampu menahan beban emosinya. "Sadar, Mas... itu bukan cinta, Mas," bisiknya di antara isak tangis yang memilukan.
Eza mengepalkan tangannya dengan keras setelah mendengar ucapan Kiska, amarahnya berusaha ia kendalikan. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Kiska yang menangis dan bergetar. Eza merengkuh Kiska dalam pelukannya, erat, seolah tak ingin pernah melepaskannya. "Mas ga peduli itu cinta atau obsesi, yang mas tau, mas cuma mau kamu di hidup mas. Mas akan lakuin apapun supaya kamu bisa jadi milik mas seutuhnya," ucapnya tegas, suaranya menggema di tengah ketegangan.
Kiska menangis semakin keras, tubuhnya bergetar dalam pelukan Eza. Ia mencoba memberontak, namun tenaganya yang lemah tak mampu melawan kekuatan Eza. Kiska merasa terjebak, tak bisa lepas dari pelukan laki-laki itu yang semakin mengekangnya.
Saat itu, hujan turun dengan derasnya, seakan alam turut merasakan derita dan kesedihan Kiska. Hujan membasahi mereka berdua, membuat pakaian mereka basah kuyup. Eza, yang melihat Kiska mulai tenang dalam pelukannya, memutuskan untuk mengangkat tubuh Kiska dalam gendongan bridal style dan membawanya masuk kembali ke dalam rumah, menjauhkannya dari hujan yang terus mengguyur.
Setelah Eza membawa Kiska kembali ke dalam rumah, Kiska hanya diam membisu, menolak untuk menjawab setiap kali Eza mencoba berbicara dengannya. Ketika Eza menyuapinya makanan, Kiska tetap tak bergeming, tak mau makan sedikit pun. Sikapnya yang seperti patung membuat Eza hanya bisa menghela nafas panjang, merasa frustrasi namun tak berdaya.
Akhirnya, Eza memutuskan untuk meninggalkan Kiska sendirian, berharap waktu akan membuatnya berubah pikiran. Kiska meringkuk di atas kasur, tubuhnya terasa berat oleh beban emosional yang tak tertahankan. Pikirannya terus dipenuhi oleh rasa putus asa dan kepedihan yang mendalam. Tanpa sadar, dalam kelelahan yang begitu parah, Kiska akhirnya tertidur, tenggelam dalam tidur yang tak membawa ketenangan, hanya kelelahan yang akhirnya memaksa tubuhnya untuk beristirahat.
Kiska terbangun karena merasakan sesuatu yang dingin di dahinya. Saat matanya membuka, dia melihat Eza sedang memeras kain untuk mengganti kompres di dahinya. Begitu Eza menyadari bahwa Kiska sudah bangun, dia berkata dengan lembut, "Kamu sudah bangun, sayang?" Kiska hanya memandangnya dengan tatapan dingin.
Ketika Eza mencoba mengganti kompres di dahinya, Kiska membuangnya dengan tatapan marah. Eza hanya bisa menghela napas, mencoba menahan perasaannya. Dia lalu membawa semangkuk bubur untuk Kiska dan berkata, "Kamu makan dulu, ya, habis itu minum obat." Namun, Kiska tetap diam, tidak mau membuka mulutnya untuk makan.
Melihat sikap Kiska yang keras, Eza akhirnya tak bisa menahan emosinya. Air matanya jatuh. "Mas mohon, sayang, makanlah. Jangan hukum mas seperti ini. Kamu lagi sakit," katanya dengan suara bergetar. Kiska tersenyum sinis, "Mas yang buat aku sakit. Harusnya mas puas."
Eza kemudian bersimpuh di hadapannya, memohon, "Mas janji, setelah kamu sembuh, mas akan antar kamu pulang." Kata-kata itu akhirnya membuat Kiska luluh. Dengan enggan, dia mulai memakan bubur itu dan meminum obat yang Eza berikan.
Selama dua hari penuh, Eza merawat Kiska dengan penuh perhatian. Meski Kiska kerap menunjukkan sikap ketus dan menolak bantuan Eza, dia tidak pernah marah.
Setelah Kiska sembuh, sesuai dengan janjinya, hari itu mereka bersiap untuk pulang. Kiska masuk ke dalam mobil Eza, dan Eza mengikuti. Sebelum mereka berangkat, Eza menatap Kiska dan bertanya dengan lembut, "Sayang, kamu sudah maafin mas?"
Kiska menatapnya dengan penuh arti, lalu mengangguk. Eza merasa lega dan bahagia, kemudian memeluk Kiska dengan erat. "Maafin mas, sayang. Mas bakal usaha buat ngontrol diri mas ke depannya," katanya dengan tulus. Kiska membalas pelukan itu, merasakan hangatnya perhatian Eza.
Di dalam hati, Kiska merasa bimbang. Selama sakit, Eza merawatnya dengan penuh perhatian, membuat hatinya terasa hangat. Ia sadar bahwa dirinya sempat terbuai, tetapi sebagai gadis remaja, ia marah karena belum bisa sepenuhnya mengendalikan perasaannya. Namun, saat itu ia hanya bisa mengingat bagaimana Eza merawatnya dengan penuh kasih.
Eza melajukan mobilnya, meninggalkan rumah yang terpencil itu dan menuju kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Kiska hanya melihat pepohonan yang berlalu di luar jendela. Ia merasa terasing di tempat itu, seperti rumah itu bukan bagian dari kehidupannya.
Kiska menoleh ke arah Eza, dan Eza menyadari tatapan itu. Dengan lembut, Eza meraih tangan Kiska dan mengecupnya. "I love you, sayang," ucap Eza dengan penuh kasih. Kiska merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu, dan walau penuh keraguan, ia merasakan kehangatan yang dalam dari Eza.
Dalam perjalanan pulang, Eza merasa gelisah. Pikiran-pikirannya terus berputar, bayangan Kiska yang mungkin saja semakin menjauh darinya membuatnya tidak tenang. Ketika dia melihat betapa teman-teman Kiska sangat peduli padanya, rasa khawatir itu semakin menjadi-jadi. Eza merasa takut jika perhatian dari teman-temannya itu akan membuat Kiska merasa lebih nyaman bersama mereka daripada bersamanya.
Dalam pikirannya, Eza tahu ia harus bertindak cepat agar Kiska tidak berpaling darinya. Sebuah ide muncul di benaknya: jika Kiska tidak memiliki teman, maka dialah satu-satunya orang yang bisa menjadi tumpuan Kiska. Senyum bahagia mengembang di wajahnya saat ia menyadari bahwa satu-satunya cara adalah menjauhkan Kiska dari teman-temannya.
Eza segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon anak buahnya. Suaranya terdengar tenang namun tegas. "Cari kelemahan mereka, entah dari keluarga atau apa pun. Jika mereka tidak memiliki kelemahan, buat kelemahan itu. Jangan sampai rencana ini gagal, mengerti?" ucapnya dengan nada perintah yang tak bisa dibantah.
Setelah memastikan anak buahnya memahami instruksinya, Eza menambahkan, "Buat ayah Kiska tetap di sana, bagaimanapun caranya." Anak buahnya mengangguk di seberang telepon, siap menjalankan perintah bos mereka.
Perasaan lega perlahan-lahan menguasai hati Eza. Dengan rencana ini, Kiska hanya akan memiliki dirinya, dan selamanya akan bersamanya. Ia yakin, tak ada yang bisa memisahkan mereka lagi.
Karena mood ku bagus jadi up 2 kali hari ini.
Jangan lupa komen, komen kalian itu yang bikin aku semangat buat lanjutin cerita ini.
Karena aku cukup stres ngebuat kelakuan Eza ini udh ga ketolong edannya bener-bener butuh dibawa ke poli jiwa😭.
See you di bab selanjutnya 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
Poignantly
RomanceAku lari dengan sekuat tenagaku mencapai gerbang depan sekolahk. Terlihat mobil BMW warna hitam terpakir disebrang jalan, dengan buru buru aku menyebrang jalan dan masuk ke mobil. "Kamu telat 2 menit sayang" Aku memandangnya dengan pandangan memelas...