Azhar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang sedikit di atas batas, ingin segera sampai di kafe tempat Kiska menunggu. Pikirannya penuh dengan bayangan Kiska yang mungkin gelisah menunggu kedatangannya. Namun, tiba-tiba sebuah mobil hitam melaju cepat dari samping dan memotong jalannya. Azhar terpaksa menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba.
Beberapa pria berbadan kekar, semuanya mengenakan pakaian hitam, keluar dari mobil tersebut dan mendekati mobil Azhar. Sebelum ia sempat bereaksi, pintu mobilnya dibuka paksa, dan Azhar ditarik keluar. Dia berusaha melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Mereka dengan cepat menutup wajahnya dengan karung hitam, membelenggu tangannya, dan membawanya ke sebuah mobil lain yang sudah menunggu.
Azhar tidak bisa melihat apapun dan hanya bisa merasakan mobil melaju ke tempat yang tidak ia kenal. Perjalanan terasa panjang, dan ketakutan mulai merayap dalam dirinya. Sesampainya di tempat tujuan, ia dipaksa keluar dan didorong masuk ke dalam sebuah bangunan tua. Lantai di bawahnya terasa dingin dan kasar saat ia dibuat bersimpuh. Tangannya masih terikat kuat, membuatnya sulit bergerak. Azhar meronta, berusaha melawan dengan tenaga yang tersisa, tapi usahanya sia-sia.
Tak lama kemudian, karung hitam yang menutupi wajahnya dibuka. Cahaya yang masuk tiba-tiba membuat matanya sedikit silau, tapi seiring matanya menyesuaikan, ia melihat dirinya dikelilingi oleh para pria yang tadi menghadangnya. Wajah mereka tak menunjukkan belas kasihan sedikitpun, dan Azhar tahu ia berada dalam bahaya besar. Hatinya mulai merasakan ketakutan yang mendalam, tapi ia berusaha tetap tenang, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang menakutkan ini.
Azhar mencoba mengumpulkan keberanian meski hatinya diliputi ketakutan. Ia menatap tajam para pria yang mengelilinginya, mencoba mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya.
"Siapa yang memerintah kalian?" suara Azhar terdengar tegas meski ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menunggu jawaban, tapi tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Wajah-wajah itu tetap dingin, tak menunjukkan emosi apapun, seolah-olah mereka hanyalah bayangan tanpa jiwa.
Azhar mencoba lagi, kali ini dengan nada yang lebih memohon, "Apa yang kalian inginkan dari aku? Kenapa kalian melakukan ini?"
Namun, pria-pria itu tetap membisu. Mereka hanya saling bertukar pandang, seperti mengisyaratkan satu sama lain bahwa mereka sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu dan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Azhar merasa putus asa, menyadari bahwa tidak ada jawaban yang akan ia dapatkan dari mereka.
Azhar merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat ia melihat sosok yang berjalan mendekatinya. Pria itu tidak asing baginya—wajah yang sama dengan pria yang pernah ia lihat berciuman dengan Kiska di balkon vila saat mereka liburan. Dalam hati, Azhar mulai bertanya-tanya apakah ini semua ada hubungannya dengan Kiska.
"Mau apa lo, brengsek?" Azhar menyala dengan kemarahan, matanya menatap tajam pria di depannya.
Eza, yang kini berdiri tepat di hadapan Azhar, hanya tersenyum miring. Dia duduk di kursi yang telah disiapkan, dengan dua anak buahnya berdiri setia di kedua sisinya. Dengan santai, Eza menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, membuat darah Azhar mendidih.
"Bajingan, lo ngapain nyulik gue, hah?" suara Azhar bergetar dengan kemarahan yang ditahannya.
Eza hanya tersenyum dingin, lalu melemparkan rokoknya ke lantai, menginjaknya dengan ujung sepatunya. Dia duduk dengan tenang, kedua tangan menyatu di depan, tubuhnya condong sedikit ke depan. "Karena gue harus nyingkirin sampah kayak lo dari kehidupan Kiska," jawab Eza dengan nada yang penuh kebencian terpendam.
Azhar tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di ruangan yang sepi itu. "Gue? Sampah? Hahaha..." tawa Azhar mereda, berganti dengan tatapan serius yang menusuk. "Lo yang sampah sebenarnya. Kenapa lo nggak sadar kalau lo itu sampah yang sebenernya? Lo tau seberapa besar keinginan Kiska buat nyingkirin sampah kayak lo? Gak akan bisa gue jabarkan seberapa besar itu. Hahaha!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Poignantly
RomanceAku lari dengan sekuat tenagaku mencapai gerbang depan sekolahk. Terlihat mobil BMW warna hitam terpakir disebrang jalan, dengan buru buru aku menyebrang jalan dan masuk ke mobil. "Kamu telat 2 menit sayang" Aku memandangnya dengan pandangan memelas...