Aku sudah menunggu di gerbang sekolah selama dua jam, namun jemputanku tak kunjung tiba. Mbak Wulan, atau yang biasa kupanggil Mbak, tidak merespons pesan yang kukirimkan—hanya centang dua tanpa terbaca. Rasa kesal mulai merayapi hatiku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon Ayah.
Panggilan pertama langsung diangkat, suara Ayah yang tegas dan penuh perhatian terdengar.
"Halo, Yah?"
"......."
"Aku belum pulang, Yah. Mbak Wulan belum jemput aku!"
"......."
"Iya, aku masih di depan gerbang sekolah. Iya, aku tunggu di sini, Yah."
Andai saja dari tadi aku minta dijemput Ayah, pasti aku tak perlu menunggu selama ini. Nanti, aku pasti ngambek sama Mbak Wulan. Ketika aku sedang merenung, sebuah BMW hitam berhenti di depanku. Jendela mobil itu perlahan turun, memperlihatkan wajah yang sudah tak asing lagi bagiku.
"Loh, Mas Eza? Kok di sini?" tanyaku heran.
Mas Eza, teman satu fakultas Mbak Wulan di Kedokteran, tersenyum tipis. "Ayo naik, Kis. Kamu nggak mau pulang?"
Aku segera masuk ke dalam mobil, mengenakan sabuk pengaman, dan duduk dengan perasaan lega. Di dalam mobil, suasana terasa sunyi; tak ada percakapan di antara kami sampai mobil berhenti di depan rumahku. Saat aku hendak membuka pintu, suara Mas Eza kembali menghentikanku.
"Ayahmu tadi telepon aku, minta tolong jemput kamu."
"Aduh, maaf ya, Mas. Kiska jadi ngerepotin Mas Eza."
Mas Eza tersenyum, kali ini lebih lembut. "Bukan masalah, Kis. Kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung hubungi aku, oke?"
Aku mengangguk. "Iya, Mas Eza. Terima kasih banyak. Mas Eza nggak mau mampir dulu?"
"Enggak, Kis. Aku harus ke kampus lagi."
Aku hanya bisa tersenyum melihat mobil Mas Eza melaju pergi. Ya ampun, beruntung sekali wanita yang nanti jadi pacarnya Mas Eza. Tapi... kira-kira, Mas Eza suka nggak ya sama aku? Eh, sadar diri, Kiska! Kamu masih kelas 11, masih bau kencur. Mana mungkin Mas Eza tertarik sama kamu?
Sejak kejadian itu, aku dan Mas Eza semakin dekat. Dia sering menjemputku bersama Mbak Wulan atau mengantarku pulang ketika aku sendiri di rumah. Mbak Wulan yang sering memintanya, terutama kalau dia mau jalan dengan pacarnya, Mas Satria.
Malam ini, aku dan Mas Eza duduk berdua di depan TV. Mbak Wulan pasti sedang bersenang-senang dengan Mas Satria, sementara Ayah bekerja shift malam di rumah sakit.
"Kis, kamu udah punya pacar belum?" tanya Mas Eza tiba-tiba.
"Belum, Mas," jawabku dengan wajah bingung.
Mas Eza menatapku serius. "Kis, kamu mau nggak jadi pacarku? Nanti aku minta izin ke Mbak Wulan dan Ayahmu juga."
Aku terkejut bukan main. Apa aku sedang bermimpi? Mas Eza, mahasiswa kedokteran yang terkenal dan dibanggakan dosennya, menyatakan cintanya padaku—seorang anak SMA kelas 11 yang biasa saja. Jantungku berdegup kencang, tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Gimana, Kis? Kok malah ngelamun? Nggak mau ya?"
"Mau, Mas," jawabku pelan, hampir tak terdengar.
Tanpa diduga, Mas Eza memelukku dan mencium bibirku singkat. Aku terdiam, tubuhku menegang dalam pelukannya. Itu adalah ciuman pertamaku, dan Mas Eza yang mengambilnya. Ingin rasanya aku marah, tapi melihat senyumnya yang bahagia karena aku menerima cintanya, aku memilih untuk menahan diri. Mungkin besok aku akan bicara padanya untuk lebih menjaga batasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poignantly
RomanceAku lari dengan sekuat tenagaku mencapai gerbang depan sekolahk. Terlihat mobil BMW warna hitam terpakir disebrang jalan, dengan buru buru aku menyebrang jalan dan masuk ke mobil. "Kamu telat 2 menit sayang" Aku memandangnya dengan pandangan memelas...