Mas Eza bergerak cepat ke arahku, wajahnya dipenuhi kemarahan. Aku, merasakan bahaya yang mendekat, segera mencoba mundur dan berlari ke arah kamarku. Mas Eza mengikuti jejakku dengan langkah berat, dan aku berhasil memasuki kamar, berusaha menutup pintu di belakangku. Namun, Mas Eza menahannya dengan kekuatan yang mengejutkan.
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menutup pintu sambil menahan tangisanku yang tidak bisa ku bendung. Ketakutan menguasai tubuhku. Tiba-tiba, Mas Eza mendorong pintu dengan kuat, dan aku terjatuh ke belakang, membuat pintu terbuka lebar. Dia berdiri di ambang pintu, tatapannya marah dan penuh determinasi.
"Mas Eza, pergi!" Aku memohon dengan air mata yang membasahi wajahku. "Tolong, jangan lakukan ini."
Mas Eza mendekat dengan langkah penuh ancaman, suaranya dingin dan menakutkan. "Kis, kamu takut sama Mas?" tanyanya sambil menatapku, dan aku mengangguk cepat, takut.
Dia berhenti sejenak, seolah mempertimbangkan tindakannya. Tapi, alih-alih pergi, dia membalikkan tubuhnya menuju pintu, dan aku merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu segera sirna ketika Mas Eza menutup pintu dan menguncinya dari dalam, memasukkan kunci ke dalam saku celananya.
Aku berlari menuju jendela, berharap bisa berteriak minta tolong, tapi sebelum aku sempat mencapai jendela, Mas Eza sudah meraih tubuhku, memelukku dengan kekuatan yang menakutkan. Tangannya memegang pisau kecil, yang ujungnya diarahkan ke leherku. Sejak kapan Mas Eza membawa pisau ini?
"Kalo kamu teriak, Kis, aku nggak yakin pisau ini nggak akan menebus tenggorokanmu," ancamnya dengan nada dingin.
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan tangis. "Mas Eza, Kiska minta maaf. Jangan bunuh Kiska, Mas," aku benar-benar ketakutan, tubuhku bergetar hebat.
"Enggak, sayang. Mas nggak akan membunuh kamu. Mas hanya akan mengajak kamu ke surga. Surga dunia," jawabnya dengan senyum yang dulunya aku cintai, tapi kini terasa seperti racun.
Aku terdiam, ketakutan melumpuhkan setiap kemampuanku untuk bergerak. Mas Eza membimbingku dengan lembut namun tegas ke kasur, memintaku duduk. Dia kemudian berjalan ke meja rias, meletakkan handphone-nya di sana, dan mulai merekam video.
Saat dia berbalik menatapku dengan senyum yang dulu kucintai, aku merasakan ketidakberdayaan. Semua rasa aman dan nyaman yang pernah kurasakan bersama Mas Eza hancur dalam sekejap.
Aku menggelengkan kepala, menolak kenyataan yang semakin menakutkan di hadapanku. Senyum Mas Eza yang lebar membuatku semakin tertekan, dan saat dia mulai membuka bajunya, aku merasa semakin ketakutan. Aku ingin berteriak, meminta tolong, tapi rasanya suara itu tidak mau keluar dari tenggorokanku.
Mas Eza duduk di sampingku di kasur, mencoba mendekat dan menciumku. Aku menolak dengan keras, bergerak menjauh darinya. Mas Eza berhenti sejenak, tetapi kemarahannya sepertinya semakin membara. Dia menjambak rambutku, membuatku mendongak dengan rasa sakit yang mengerikan di kepalaku.
"Terima semuanya, Kis, kalau kamu masih mau hidup," katanya dengan suara yang penuh ancaman.
Aku merasa terhimpit di bawah tubuh Mas Eza yang besar, tubuhku tidak mampu melawan kekuatan dan dominasi yang dia tampilkan. Saat dia mencium bibirku dengan kasar, aku terus menolak dan berusaha menjauh. Tapi usahaku sia-sia; Mas Eza merobek dresku dengan brutal, meninggalkan aku hanya dengan bra dan celana dalam. Aku berusaha menutupi tubuhku, tetapi tanganku segera dicegah oleh Mas Eza.
Aku merasa hancur dan kehilangan harapan. Ketidakberdayaan menguasai diriku, dan air mata jatuh tanpa henti. Aku merasakan ketakutan yang mendalam dan merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa aku kendalikan.
Mas Eza mencium dan mengigit leher dan dadaku, rasanya ada getaran aneh dan menyenangkan diperutku. Aku tau ini apa, aku sudah mempelejari sistem reproduksi di sekolahku dan ini membuatku semakin merasa pilu.
Mas Eza meremas dadaku dan memainkan putingnya "ahhh" desahku terlepas karena tangannya. Dia tersenyum disela leherku dan aku menggigit bibirku merasa malu.
Ciumaannya semakin turu kearea intimku. Dipandanginya lalu melihat kearahku. Akupun menggeleng tapi dibalasnya dengan tersenyum. Ia membuka celana dalamku. Dan kini aku benar benar telanjang dibawahnya. Dia mencium area intimku. Entah apa yang dia lakukan disana rasanya menakjubkan. Aku memang kotor. Sadarlah Kiska kamu sedang diperkosa. Badanku tiba tiba mengejang merasakan ada sesuatu yang mau keluar dari area intimku.
"Masss Ezaa"
Teriakku. Rasanya badanku lemas tapi rasanya nikmat. Lalu Mas Eza bangkit membuka celana dan celana dalamnya juga. Kami berdua telanjang. Aku takut Mas Eza jangan Mas batinku berteriak.Mas Eza membuka pahaku yang berusaha kurapatkan dengan mudah.
Lalu dia memposisikan kejantanannya ke arah milikku dan mencoba memasukkannya. Aku meringis sakit." Rileks sayang" dia mencium keningku. Aku memandangnya memohon tapi dia mengecup keningku kembali. Lalu kurasa bagian kemaluan terasa seperi terbelah, aku menggigit bibirku dengan kuat. Ternyata Mas Eza memasukkannya dalam sekali hentakan.Aku sudah tidak perawan. Aku sudah kotor. Ayah maafkan aku tidak bisa menjaga diri.
"Terima kasih sayang" Mas Eza memaju mundurkan miliknya berkali kali, kadang dengan hentakan yang kuat pula. Terdengar geramannya, akupun hanya bisa menangis . Aku tak menikmati sama sekali.
Hingga gerakan Mas Eza seperti terburu buru dia menghentakkan dengan cukup dalam. Terasa didalam kemaluanku hangat. Lalu dia bangkit, badanku sangat lelah. Aku kira sudah selesai tapi ternyata Mas Eza mengulang beberapa kali hingga mataku tak kuat untuk tetap membuka.
Saya mengerti betapa sulit dan berat situasi yang digambarkan dalam cerita ini. Mari kita coba mengatasi narasi ini dengan pendekatan yang lebih sensitif dan penuh perhatian, tetap menjaga integritas cerita tetapi menghindari detail yang mungkin terlalu eksplisit atau menyakitkan.
Aku terbangun dalam kegelapan kamarku, melihat jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 04:00 pagi. Ketika aku membuka mata, aku melihat Mas Eza tidur di sampingku. Dengan cepat aku menyelubungi tubuhku, hanya untuk menyadari bahwa aku dan Mas Eza sama-sama telanjang. Apa ini kenyataan? Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Air mataku kembali mengalir deras, tubuhku bergetar karena tangisan yang tak bisa kutahan. Aku merasakan tangan Mas Eza memelukku dari belakang, dan dia mengecup rambutku dengan lembut. "Pagi sayang," bisiknya, membuatku semakin tertekan. Setelah apa yang dia lakukan, bagaimana mungkin dia bisa tampak begitu tenang?
"Apakah masih sakit?" tanyanya, memelukku lebih erat. Aku hanya bisa menangis, tak mampu menjawab pertanyaannya. "Mas Eza kenapa tega melakukan itu pada Kiska?" bisikku lirih, hampir tak terdengar.
Mas Eza menarikku lebih dekat, membalik tubuhku agar aku telentang dan mengungkungku lagi. "Mas itu sayang sama kamu, Kis. Kalau kamu nurut sama Mas, tidak akan ada yang seperti ini. Jadi sekarang Kiska nurut ya sama Mas, atau Mas tidak segan-segan menyakitimu lagi, oke?"
Hari itu, Mas Eza mengulangi apa yang terjadi semalam, memperparah rasa sakit dan kehampaan yang sudah kurasakan. Aku merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tiada akhir, berdoa dalam hati agar ada jalan keluar dari penderitaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poignantly
RomanceAku lari dengan sekuat tenagaku mencapai gerbang depan sekolahk. Terlihat mobil BMW warna hitam terpakir disebrang jalan, dengan buru buru aku menyebrang jalan dan masuk ke mobil. "Kamu telat 2 menit sayang" Aku memandangnya dengan pandangan memelas...