2.

32.8K 675 8
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak Ayah dan Mbak Wulan meninggalkan rumah, dan selama itu pula, rutinitasku berubah. Setiap pagi, aku bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, meski sebenarnya Mas Eza lebih sering menggangguku daripada membantu. Meski begitu, aku menikmatinya—membayangkan diri seperti seorang istri yang menyiapkan makanan untuk suaminya. Ya Tuhan, Kiska, berhenti berkhayal, batinku.

Sore itu, setelah kami berdua selesai dengan kegiatan hari itu, kami duduk bersama di ruang tamu, menonton film horor favoritku. Meski suasana mencekam dari layar, pikiranku mengembara.

"Mas, nanti kalau Mas Eza sudah lulus kuliah, Mas Eza mau kerja langsung atau lanjut S2 kayak Mbak Wulan?" tanyaku, memecah keheningan yang terasa begitu hangat.

Mas Eza menatapku lama, membuat jantungku berdegup kencang. Lalu dia tersenyum lebar, senyuman yang selalu membuatku merasa istimewa. "Kerja dulu, Kis. Ngumpulin modal buat nikah sama kamu," jawabnya sambil mengedipkan mata nakal.

Wajahku langsung memanas, dan aku yakin pipiku merah padam. "Apa-apaan sih, Mas! Belajar rayuan dari mana sih?" protesku, meski dalam hati, aku merasa begitu berbunga-bunga.

"Uh, cantiknya pacarku kalau pipinya merah begini," katanya sambil menangkup pipiku dengan kedua tangan. Tanpa memberi peringatan, dia mengecup bibirku berkali-kali, ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi lebih dalam, lebih intens. Kami saling menggigit bibir, mengulum, dan lidah kami bertemu, menari dalam panasnya ciuman yang membuat tubuhku terasa seperti terbakar.

Aku terengah-engah ketika ciuman itu akhirnya terputus. Mas Eza menempelkan dahinya ke dahiku, matanya menatapku penuh rasa. "Kamu manis, Kis. Kamu canduku," bisiknya, membuatku tersenyum lebar. Tanpa menunggu lebih lama, kami kembali larut dalam ciuman yang penuh gairah, menyalurkan rasa sayang yang mengalir di antara kami.

Keesokan paginya, seperti biasa, Mas Eza mengantarku ke sekolah. Namun, sebelum aku turun dari mobil, dia berkata, "Kis, Mas nggak bisa jemput kamu hari ini. Mas ada acara kampus."

Aku menoleh, menatapnya dengan sedikit kecewa. "Iya, Mas. Nggak apa-apa. Nanti Kiska pulang sama Arum aja."

Mas Eza tersenyum, mengacak-acak rambutku dengan sayang. "Oke, jaga diri ya, Kis."

Setelah itu, aku menjalani hari di sekolah seperti biasa. Ketika aku tiba di kelas, suasana bising menyambutku. Aku berjalan ke tempat dudukku di samping Arum. "Rum, nanti aku nebeng ya pulangnya. Nggak ada jemputan soalnya," kataku sambil meletakkan tas di kursi.

Arum mengangguk, lalu menambahkan, "Tapi temenin aku ke mall dulu ya, Kis. Aku mau beli baju sama sepatu."

Aku setuju, toh di rumah pun aku akan sendirian karena Mas Eza masih di kampus.

Sesuai rencana, sepulang sekolah, aku dan Arum pergi ke mall. Di salah satu butik, aku duduk menunggu Arum yang sedang berkeliling mencari baju. Tatapanku mengedar ke seluruh butik, hingga akhirnya terhenti pada sosok pria yang tak asing. Postur tubuhnya, gaya berpakaiannya... Itu Mas Eza! Tapi apa yang dia lakukan di butik wanita?

Saat aku hendak menghampirinya, seorang gadis seumuran Mbak Wulan tiba-tiba mendekatinya, mengalungkan tangannya di lengan Mas Eza dan mengecup pipinya. Aku terdiam, seakan waktu berhenti. Apa yang barusan aku lihat? Mas Eza... dengan gadis lain? Mereka... berciuman?

Rasanya kakiku lemas, tapi aku memaksakan diri untuk mencari Arum. "Rum, ayok anterin aku. Sekarang!" kataku dengan suara gemetar, menarik tangannya keluar dari butik. Arum, meski bingung, hanya menurut tanpa banyak bertanya.

Kami mengikuti Mas Eza dan gadis itu yang keluar dari butik, berjalan menuju basement. Mereka masuk ke dalam mobil Mas Eza, dan aku segera meminta Arum untuk mengikuti mereka. Dalam perjalanan, perasaanku tak karuan—rasa cemas, marah, dan sedih bercampur aduk.

Mobil Mas Eza berhenti di sebuah kawasan kontrakan. Dari kejauhan, aku melihat mereka turun dan masuk ke dalam sebuah rumah. Perasaan was-was semakin menghantui, dan aku memutuskan untuk turun dari mobil Arum, berjalan mendekati jendela rumah itu.

Di dalam, aku melihat sesuatu yang menghancurkan hatiku. Mas Eza sedang berciuman dengan gadis itu, begitu mesra, seolah dunia hanya milik mereka. Mataku memanas, dan tanpa berpikir panjang, aku kembali ke mobil Arum, air mata sudah membasahi pipiku.

"Rum, anterin aku pulang," kataku dengan suara serak, tak sanggup menahan tangis yang semakin deras. Arum memelukku, mencoba menenangkanku meski dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di perjalanan pulang, aku hanya bisa bertanya dalam hati. Mas Eza, kenapa kamu tega? Apa salahku?

Aku memasuki rumah dengan langkah gontai, mengunci pintu kamarku, dan kemudian meruntuhkan dinding emosiku. Tangisanku mengalir deras, diiringi oleh sesenggukan. Semua pertanyaan dan kebingungan tentang hubungan ini berputar-putar dalam pikiranku. Aku tidak bisa menerima pengkhianatan, apalagi perselingkuhan. Hubungan ini seharusnya tidak berlanjut lebih jauh. Ketika aku merasa sudah cukup dengan kesedihan ini, aku membenahi diri dan duduk menunggu di ruang tamu. Aku sudah memutuskan; aku harus mengakhiri hubungan ini dan aku akan mengatakannya pada Mas Eza saat dia pulang.

Tak lama kemudian, suara mobil Mas Eza memasuki halaman rumahku. Aku bisa melihatnya melalui jendela, membawa kotak donat matcha kesukaanku sambil tersenyum lebar. Sungguh, ini semua tampak seperti sebuah sandiwara. Setelah puas dengan gadis lain, dia datang dengan harapan bisa menenangkan hati aku dengan donat.

"Hei, Kis! Nih, aku bawa donat kesukaanmu," sapa Mas Eza ceria, meletakkan kotak donat di meja.

Aku berdiri dan memanggilnya. "Mas Eza, Kiska mau ngomong."

Dia berbalik, "Ngomong apa, Kis?"

Aku mengangkat suara, berusaha menahan gemetar. "Kiska mau kita putus, Mas."

Mas Eza tertegun. "Kis, maksudmu apa? Jangan becanda. Kamu marah karena aku nggak bisa jemput, kan? Aku udah bilang aku ada di kampus."

Mas Eza melangkah maju, mencoba meraihku, tapi aku mundur dengan cepat. Air mata yang kutahan kembali mengalir. "Mas, kemana sebenarnya Mas? Kampusnya Mas sekarang pindah ke daerah Menteng, ya? Dan di kampus juga, Mas ciuman sama cewek lain?"

Mas Eza terlihat bingung. "Kis, maksudmu apa?"

Aku mengeluarkan semua emosiku. "Tadi aku ke mall, aku lihat Mas Eza sama cewek lain. Aku ikutin Mas dan ternyata Mas sedang berciuman dengan gadis itu di kontrakan di Menteng. Kenapa Mas? Kenapa Mas tega sama Kiska?"

Mata Mas Eza membulat, dia tampak terpojok. "Kamu mau tahu kenapa, Kis? Karena aku laki-laki normal, Kis. Aku butuh cewek lain untuk memuaskan hasratku. Pacarku sendiri sering menolak ketika aku ciuman. Jadi aku cari cewek di luar. Kamu pikir aku nggak nafsu setiap kali kita ciuman? Apalagi kamu sering pakai baju ketat dan celana pendek."

Aku terdiam, terkejut mendengar alasan Mas Eza yang begitu kejam. Runtuhlah semua harapanku; ternyata Mas Eza hanyalah seorang bajingan yang tak pantas mendapatkanku. Aku terduduk di lantai, seluruh tubuhku terasa lemas.

"Mas Eza, Kiska tetap mau putus dari Mas. Kiska tidak mau punya pacar yang tukang selingkuh dan tidak menghargai perasaan Kiska sebagai cewek," kataku dengan tegas, meskipun suaraku bergetar.

"Enggak. Kita tidak akan pernah putus, Kis," bentaknya, dan ini pertama kalinya Mas Eza berbicara dengan nada keras kepadaku.

"Kiska tidak peduli, Mas. Mau Mas Eza terima atau tidak, Kiska tetap mau putus. Kiska tidak mau sama cowok brengsek kayak Mas Eza," jawabku, dengan penuh tekad.

Mas Eza menggeram marah. "Kamu bilang aku brengsek? Sini, aku tunjukkan gimana cowok brengsek yang sebenarnya!"

Satu langkah ke depan, dan aku merasakan ancaman dalam kata-katanya. Aku mundur, ketakutan dan marah. "Kiska tidak mau lagi terlibat dengan Mas. Tolong, pergi dari sini."

PoignantlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang