29.

763 29 6
                                    

Kiska menghapus air matanya yang membasahi pipi, lalu meraih ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat menekan nomor ayahnya. Dering panjang terdengar di ujung sana, lalu suara berat ayahnya memecah keheningan.

"Kiska, ada apa sayang? Kenapa baru menelepon?"

Suara ayahnya begitu hangat, namun tak mampu menghapus rasa sepi yang mendera Kiska. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Ayah, kapan Ayah pulang? Kiska rindu Ayah."

"Ayah sedang ada sedikit masalah di sini, Nak. Mungkin Ayah akan sedikit lebih lama. Tapi Ayah akan usahakan secepatnya pulang, ya."

Hati Kiska mencelos mendengar jawaban ayahnya. Ia sangat membutuhkan kehadiran ayahnya saat ini. Namun, ia tak ingin membebani ayahnya dengan masalahnya.

"Kiska baik-baik saja, Yah. Ayah jangan khawatir." Kiska berusaha tersenyum, namun tangisnya kembali pecah.

"Kiska, kamu harus jaga kesehatan, ya. Makan yang teratur, jangan tidur terlalu malam, dan jangan terlalu merepotkan Eza."

Kiska mengangguk, meskipun ayahnya tak bisa melihatnya. "Iya, Yah, Kiska janji."

Setelah menutup telepon, Kiska keluar dari kafe. Langkahnya gontai, pikirannya kalut. Ia merasa sangat sendirian. Teman-temannya menjauhinya, tak percaya pada penjelasannya. Hanya Eza yang selalu ada untuknya.

Kiska berjalan menyusuri trotoar, air matanya kembali mengalir deras. Ia duduk di pinggir jalan, meringkuk sambil menangis sejadi-jadinya. Rasa putus asa menyelimuti hatinya.

Setelah cukup lama menangis, Kiska bangkit dan memanggil taksi. Ia menuju apartemen Eza. Hatinya sakit mengingat semua yang telah terjadi. Ia merasa bersalah telah melibatkan Eza dalam masalahnya, namun di sisi lain, ia juga merasa sangat beruntung memiliki Eza.

Kiska menghela napas panjang saat memasuki apartemen Eza. Rasa lelah dan putus asa memenuhi jiwanya. Ia merasa terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang sulit untuk dilepaskan.

Kiska berdiri di depan pintu apartemen Eza, jantungnya berdebar kencang. Ia ragu untuk menekan bel, namun rasa sepi dan kesepian yang ia rasakan membuatnya nekat. Pintu terbuka, memperlihatkan wajah Eza yang tersenyum hangat.

"Kiska, sayang. Ada apa?" tanya Eza dengan nada lembut.

Melihat Eza, bendungan emosi Kiska pun pecah. Ia langsung memeluk Eza erat-erat, air matanya membasahi bahu Eza. Eza membalas pelukan Kiska dengan erat, namun ada sorot mata yang berbeda di balik senyumnya.

"Kenapa, sayang? Ada apa?" tanya Eza lagi, kali ini suaranya sedikit bergetar.

Kiska masih terisak di pelukan Eza. "Mas, aku... aku takut," lirihnya.

Eza mengusap lembut rambut Kiska. "Ssst, jangan takut, sayang. Aku ada di sini untukmu."

Eza membawa Kiska ke sofa dan membaringkan kepala Kiska di pahanya. Ia mengelus rambut Kiska lembut, sambil sesekali mencium puncak kepala Kiska.

"Mas enggak akan biarin kamu sendirian, sayang. Mas punya kamu," ucap Eza dengan nada meyakinkan.

Kiska mengangguk lemah. "Aku juga punya Mas," jawabnya.

Senyum Eza semakin lebar. Namun, di balik senyum itu, tersimpan niat jahat. Ia menikmati penderitaan Kiska, menikmati saat-saat di mana Kiska hanya bergantung padanya.

"Kenapa kamu sedih, sayang? Ada apa?" tanya Eza lembut, seolah peduli penuh.

Kiska memejamkan mata, berusaha mengontrol isaknya. "Aku berantem sama Arum, Mas. Aku merasa bersalah. Arum ngira aku selingkuh sama pacarnya, padahal enggak. Dia nuduh aku sebelum aku sempat jelasin."

PoignantlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang