Rai masih terkejut, otaknya terus berpikir bagaimana bisa sarannya tidak ada yang berhasil? Ia sangat yakin jika ia tau betul apa yang di inginkan Akira, calon adik iparnya itu. Kalau semua sarannya tidak berhasil, apa mungkin sebenarnya ia tidak cukup tau soal Akira?
"Kamu sudah melakukan semua saran ku, dan gak ada satu pun yang berhasil? Bagaimana bisa....?" Ucap Rai bingung.
"Olahraga, tidak berhasil." Ujar Ryo lalu mengambil gelas minumnya dan meneguk sedikit air di gelas tersebut.
Rai menatap Ryo, olahraga katanya?
"Hanya saran itu saja yang tidak berhasil? Saran ku untuk berbaikan dengan Akira bagaimana?" Tanya Rai yang sepertinya mulai paham."Entah."
Rai menghela nafasnya panjang. Ternyata benar dugaannya tadi, Ryo tidak menjalankan sarannya untuk baikkan dengan Akira, dan hanya mendengarkan sarannya untuk rutin olahraga agar bisa mengontrol emosinya. Namun ini bisa di katakan pencapaian terbesar bukan? Seorang Ryo mau mendengarkan sarannya.
"Kalau begitu pergi lah ke psikiater." Rai mulai melanjutkan makannya.
"Harus?" Nampak pada wajah Ryo kalau ia enggan pergi kesana.
"Ya! Kau harus kesana! Mungkin kau ada masalah mental yang membuat mu tidak bisa mengendalikan emosi."
Tidak ada sautan dari Ryo, Rai pun kembali membuka suara. "Bagaimana dengan Akira?"
"Tidak ada restu untuk Yusa."
"Masih saja keras kepala. Aku yakin dan sangat yakin, kali ini adik ku tidak akan menyakiti Akira lagi. Coba lah untuk memberinya kesempatan. Siapa tau saja setelah kau merestui hubungannya, Akira akan memaafkan mu dan menerima mu kembali sebagai kakak."
"Omong kosong."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Restui hubungan adik mu dengan Yusa, nanti Akira akan memaafkan mu." Ucap Aoi kepada Ryo di dalam kamar Aoi.Setelah bertemu dengan Rai, Ryo yang baru saja tiba di rumah di buat terkejut melihat keakraban adiknya dengan sang papa. Ryo bingung dan bertanya tanya, hal apa yang sudah ia lewatkan hingga adiknya sudah mau berdamai dengan papa nya?
Akira yang tengah tertawa menjadi diam begitu melihat kakaknya pulang, Aoi melihat ke belakang nya ada hal apa yang membuat bungsunya terdiam seperti ini. Aoi terkekeh melihat kedua anaknya, yang satu menatap dengan permusuhan, yang satu lagi nampak kebingungan."Ikut papa, ada hal yang ingin papa katakan." Ucap Aoi dan setelahnya keduanya pun berjalan meninggalkan Akira seorang diri.
Di dalam kamar Aoi, Ryo nampak dejavu dengan perkataan papa nya. Bukan kah itu hal yang sama dengan yang Rai katakan? Bagaimana keduanya bisa memiliki ide gila seperti ini? Jelas, Ryo tidak akan merestuinya.
"Dengarkan papa, tadi papa bilang ke adek kamu kalau papa merestui hubungannya dengan Yusa. Dan lihat yang terjadi tadi, Akira sudah memaafkan papa dan menerima papa kembali. Jadi cobalah untuk kamu memberi kesempatan untuk Yusa, dengan begitu Akira akan memaafkan mu dan menerima mu kembali."
"Tidak akan!" Setelah mengatakan itu, Ryo pergi meninggalkan kamar Aoi menuju kamarnya, rasanya ia ingin mandi untuk menyegarkan pikirannya. Sementara Aoi, ia memilih untuk kembali menghampiri putra bungsunya.
"Bagaimana pa?" Tanya Akira, ia sangat berharap jika bujukkan sang papa dapat berhasil, namun kenyataan tak seindah dengan harapan. Akira langsung menunjukkan wajah sedihnya ketika Aoi menggelengkan kepala.
"Kamu tenang saja, papa akan berusaha lagi untuk membujuk kakak mu yang keras kepala." Ucap Aoi sambil memeluk Akira.
Keesokan paginya, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk manyantap sarapan mereka. Hanya ada keheningan di kala mereka usai, Akira sesekali melirik kakaknya yang hanya diam memainkan laptopnya, mungkin mengerjakan pekerjaannya.
"Pa, anterin aku ke kampus dong." Ujar Akira menghilangkan keheningan. Sementara Ryo yang mendengarnya segera menatap sang adik tajam.
"Siapa yang mengijinkan mu masuk kuliah? Hari ini kakak akan ke kampus mu dan akan memindahkan mu ke kampus lain." Seru Ryo memberikan keputusan sepihak.
"Papa bisa kan? Apa papa sibuk?" Tanya Akira yang mengabaikan perkataan sang kakak.
"Tentu saja bisa, apa sih yang gak untuk putra bungsu nya papa." Jawab Aoi dengan mengusap lembut surai sang anak.
"Akira, aku sedang bicara dengan mu! Aku akan memindahkan mu di kampus lain." Seru Ryo yang masih saja di abaikan Akira membuat Ryo semakin kesal.
Akira beranjak, mencium pipi sang papa dan berkata, "Kalau gitu aku siap siap dulu ya pa.".
Setelah Akira pergi menuju kamar, Aoi terkekeh melihat raut kesal putra sulungnya itu. "Bagaimana? Masih tidak mau mendengarkan saran papa?" Ucap Aoi yang justru mendapatkan tatapan tajam dari sang anak, dan tentu saja itu tidak menakutkan bagi Aoi.
"Sampai kapan pun aku tidak akan merestui hubungan mereka."
"Terserah saja, kalau kamu mau terus di abaikan oleh Akira. Oh satu hal lagi, jangan pernah kamu berani memindahkan adik kamu ke kampus lain. Ingat, adik kamu akan semakin membenci mu jika kamu lakukan itu. Dan juga ini perintah papa yang tidak boleh kamu bantah! Untuk memenangkan hati adik mu, kamu harus melakukan apa pun yang dia mau. Papa rasa, hati adik mu mudah luluh."
Saat ini Akira di antar Aoi dan tiba sudah di kampus tercinta nya, ia sangat merindukan suasana kampus, sahabat masa kecil nya dan tentu saja Yusa. Walau pun Akira yakin kalau Yusa pasti belum masuk kuliah, tunangannya itu baru saja pulang dari rumah sakit, pasti masih butuh istirahat beberapa hari.
"Pulang nanti papa akan jemput adek, dan kita akan pergi jalan jalan berdua kemana pun adek mau, gimana?"
Akira berbinar senang, ia menganggukan kepalanya dengan antusias. "Mau mau mau!!! Nanti aku akan pikirkan kita mau pergi kemana, aku masuk dulu ya pa, bye bye sampai ketemu siang nanti, papa harus hati hati di jalan jangan sampai kecelakaan apa lagi amnesia. Aku gak mau di lupain papa lagi dan harus tinggal sama anak papa satu itu."
Setelah Akira keluar dari mobil, Aoi hanya terkekeh lucu dengan semua penuturan bungsunya. Ternyata, Akira itu ceriwis sekali. Menggemaskan mendengar dia berceloteh.
Di kelas, saat pelajaran di mulai, Akira yang duduk di belakang tidak fokus mendengarkan penjelasan sang guru, dia hanya fokus menatap punggung sahabat masa kecil nya, Fumi. Tadi saat ia berpapasan, Akira seakan lupa jika Fumi selalu menghindarinya sejak dia berpacaran dengan Reiner. Dengan sangat antusias Akira menghampiri Fumi, tersenyum senang melambaikan tangan sembari berlari. Banyak hal yang ingin dia bicarakan kepada Fumi, ia ingin berbagi kebahagiaan ini dengan satu satunya sahabat yang ia punya.
"Fumi... Selamat pagi." Ujar Akira tepat di hadapan Fumi dengan senyuman merekah.
"Pagi." Jawab Fumi seadanya dengan wajah datarnya dan berlalu begitu saja membuat Akira teringat bahwa saat ini ia hanya sendiri tanpa seorang pun teman, dan hanya memiliki satu orang yang memusuhinya yang selalu membully nya agar dirinya berpisah dengan tunangan yang sangat ia cintai. Akira menelan air liurnya, apakah hari ini dia akan kembali di bully? Dengan kejadian yang ada di keluarganya membuat dirinya lupa akan masalahnya di kampus.
'Jika aku di bully lagi, aku tidak akan lemah. Aku akan melawan cewek badut itu meski pun aku di keroyok seperti biasa. Kak Ryo tidak boleh tau hal ini atau dia akan benar benar memindahkan ku dan memutuskan hubungan ku dengan kak Yusa. Akira, kamu bisa, kamu kuat, kamu tidak lemah.'
