Pov Kamar Salsa
Keesokan harinya, Salsa bangun dengan perasaan yang berbeda. Ketika dia berdiri di depan cermin untuk bersiap-siap, senyum kecil tak bisa ia sembunyikan. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian-kejadian di rumah sakit seminggu lalu. Setiap kali wajah Lian terlintas dalam ingatannya, hatinya terasa berbunga-bunga, seakan ada sesuatu yang hangat berkembang di dalam dirinya.
Sambil menyisir rambutnya, Salsa berandai-andai dalam hati.
“Andai saja aku tahu lebih awal kalau Lian itu anak Bi Inah,” pikirnya, masih dengan senyum di wajah.
“Aku pasti nggak perlu repot-repot ke kafe setiap hari, berharap bisa ketemu dia.”
Salsa tertawa kecil membayangkan betapa bodohnya dia, yang tanpa sadar mengejar bayang-bayang seseorang yang ternyata lebih dekat dari yang ia bayangkan.
Semua pertemuan mereka di kafe, rasa penasarannya, dan keinginannya untuk tahu lebih banyak tentang Lian ternyata bisa saja terjawab lebih cepat jika saja dia tahu fakta itu lebih awal.
Namun, di balik semua itu, ada rasa senang yang tak bisa ia pungkiri. Salsa merasa ada sesuatu yang berbeda dengan perasaannya kali ini. Mungkin, ini adalah pertama kalinya dia benar-benar tertarik pada seseorang.
Tidak hanya sekadar penasaran, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Lian lebih jauh.
Salsa melangkah keluar dari kamarnya dengan semangat yang berbeda. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, ia terus tersenyum sendiri, membayangkan apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Apakah dia akan bertemu Lian lagi? Apakah ada kesempatan untuk berbicara lebih banyak dengannya?
Semua pertanyaan itu membuat harinya terasa lebih cerah, seakan dunia ini memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Pov Lian
Di tempat lain, Lian juga merasakan hal yang sama. Setelah kejadian di rumah sakit, pikirannya terus dipenuhi oleh Salsa.
Saat dia duduk sendirian di kamarnya, jari-jarinya dengan lembut memetik senar gitar, memainkan nada-nada yang mengalir begitu saja dari pikirannya.
Namun, kali ini musiknya terasa berbeda—lebih lembut, lebih dalam, seakan setiap nada menyimpan perasaan yang tak terucapkan.
Lian teringat kembali saat-saat di rumah sakit, ketika ia pertama kali melihat Salsa di ruangan itu. Wajahnya yang penuh perhatian saat berbicara dengan Bi Inah, senyumnya yang tulus, dan caranya memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan begitu hangat.
Semua itu membuat Lian merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Salsa—sesuatu yang menarik hatinya.
Dia juga mengingat obrolan singkat mereka, meskipun tidak banyak kata yang terucap, ada koneksi yang ia rasakan.
Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun begitu kuat hingga ia tak bisa mengabaikannya.
Lian mulai membayangkan seperti apa Salsa sebenarnya, di luar peran sebagai anak majikan Bi Inah dan sosok yang ia temui di kafe.
“Kenapa aku terus-terusan mikirin dia, ya?” pikir Lian sambil tersenyum kecil, merasa sedikit bingung tapi juga tak bisa menahan rasa senang yang muncul setiap kali mengingat Salsa.
Semakin lama ia merenung, semakin Lian menyadari bahwa perasaannya terhadap Salsa tidak bisa dianggap remeh. Ada rasa penasaran yang tumbuh, sama seperti yang dirasakan Salsa. Dia ingin tahu lebih banyak tentangnya—tentang kehidupan Salsa, apa yang dia suka, dan bagaimana mereka bisa berbicara lebih banyak seperti di rumah sakit kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
FanfictionDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...