Tiga bulan kemudian, Salsa mulai merasa mual-mual setiap pagi. Awalnya, ia berpikir itu hanya kelelahan, tetapi lama-kelamaan, gejalanya semakin sering muncul. Mama Salsa, yang memperhatikan perubahan itu, menjadi sangat khawatir.
“Caca, kamu kenapa sih? Mual terus dari kemarin. Kita ke rumah sakit aja ya, biar dicek dokter,” ucap Mama Salsa, suaranya penuh kekhawatiran, sambil mendekati Salsa yang sedang duduk di sofa sambil memegangi perutnya.
Salsa menggeleng lemah, mencoba tersenyum untuk menenangkan ibunya. "Enggak, Ma. Nggak usah ke rumah sakit. Mungkin cuma masuk angin atau maag aja. Nggak apa-apa kok," jawabnya sambil menahan rasa mual yang datang lagi.
Namun, Mama Salsa tidak mudah diyakinkan. "Caca, masuk angin apanya kalau udah tiga hari mual-mual kayak gini? Mama nggak bisa diem aja. Kamu harus dicek, sayang," ujarnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Salsa tetap menolak. "Aku baik-baik aja, Ma. Nggak usah khawatir, ya? Aku cuma butuh istirahat."
Mama Salsa menatapnya dengan cemas, masih belum yakin. "Kamu yakin nggak mau dibawa ke dokter? Mama khawatir, Caca... Jangan sampai sakit beneran baru kamu mau berobat."
Salsa tersenyum tipis, meski jelas terlihat kelelahan. "Iya, Ma. Kalau nanti masih mual, aku janji bakal periksa."
*****
Setelah beberapa hari, Salsa mulai merasa tubuhnya semakin aneh. Mual yang datang setiap pagi, rasa lelah yang tak kunjung hilang, dan perubahan suasana hatinya membuatnya semakin cemas. Semakin ia memikirkan kemungkinan itu, semakin kuat firasat yang muncul di benaknya—dugaan bahwa dirinya hamil.
Di dalam kamarnya yang sepi, Salsa duduk di depan cermin, menatap bayangannya dengan penuh kecemasan. Tangan gemetarnya menyentuh perutnya yang masih datar, namun perasaannya mulai kacau.
“Ya Tuhan… jangan-jangan aku hamil,” bisiknya dengan suara serak, matanya mulai memanas oleh air mata yang hampir jatuh.
Ia merasa takut—takut bahwa dugaan ini benar, dan lebih dari itu, takut akan reaksi keluarganya jika mereka tahu. Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini kepada orang tuanya? Bagaimana Papa, yang begitu keras soal reputasi keluarga, akan bereaksi jika tahu bahwa anak perempuannya hamil di luar nikah?
Salsa menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan air mata yang kini tak lagi bisa dibendung. Ia merasa terjebak, tak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, ia merasa hancur dengan kemungkinan bahwa hidupnya akan berubah drastis. Di sisi lain, bayangan akan kemarahan Papa membuatnya semakin panik.
“Aku nggak bisa… nggak mungkin mereka tahu. Kalau Papa tahu… semuanya bakal berantakan,” gumamnya lirih, suaranya bergetar karena takut.
Namun, Salsa juga tahu bahwa ia tak bisa terus menghindar dari kenyataan. Jika benar ia hamil, cepat atau lambat keluarganya akan tahu. Dan saat itu terjadi, ia harus siap menghadapi segala konsekuensinya.
Tapi untuk sekarang, Salsa hanya bisa duduk dalam diam, didera kecemasan dan ketakutan yang makin hari makin mencekiknya.
Salsa duduk termenung di kamarnya, pikirannya kacau balau, tenggelam dalam kecemasan dan ketakutan yang terus menghantui. Ia memandangi ponselnya yang tergeletak di samping, layar hitam itu seolah menantangnya untuk mencari jawaban atas kebingungannya. Namun, ia terlalu takut untuk melakukan apa pun, bahkan untuk mencari tahu apakah dugaan yang membuatnya cemas itu benar.
Tiba-tiba, suara bergetar pelan mengisi keheningan kamar. Ponsel Salsa berdering, menampilkan nama yang begitu dikenalnya—Lian.
Degup jantungnya semakin cepat. Perasaannya campur aduk antara ingin mengangkat telepon dan rasa takut akan kenyataan yang harus dihadapinya. Ia menatap layar itu beberapa detik, sebelum akhirnya menggeser layar dan menjawab panggilan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
FanfictionDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...