Dua bulan berlalu sejak Malika lahir, dan setiap hari adalah keajaiban bagi Salsa dan Lian. Mereka duduk di sofa kecil di ruang tengah, menatap bayi mungil mereka yang sedang menyusu di pelukan Salsa. Malika tampak begitu nyaman, matanya sedikit terpejam, sementara tangannya yang kecil mencengkeram baju ibunya.
Lian hanya diam, menatap dengan senyum hangat. Ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata—rasa bahagia yang begitu mendalam, rasa syukur yang tak ada habisnya.
Salsa menyadari tatapan Lian, ia tersenyum sambil mengusap kepala Malika dengan lembut. "Kamu liatin apa sih, Lian?" tanyanya pelan, suaranya penuh kehangatan.
Lian tersentak sedikit, lalu tertawa kecil. "Aku nggak nyangka aja… kita udah jadi orang tua sekarang. Malika… dia sempurna banget, ya," jawabnya dengan suara bergetar.
Salsa tersenyum, menunduk memandangi wajah Malika yang tenang. “Aku juga nggak nyangka. Rasanya masih kayak mimpi. Aku selalu takut dia bakal kenapa-kenapa, tapi kamu selalu ada di samping aku, tenangin aku.”
“Kamu belum makan, kan?” Lian bertanya sambil menyodorkan sendok yang sudah diisi sup ke arah Salsa.
Salsa tertawa kecil. “Dari tadi mau makan, tapi Bacil nggak kasih kesempatan.”
Lian tersenyum penuh kasih. “Nah, makanya sekarang biar pap yang suapin.” Ia membawa sendok itu mendekat ke bibir Salsa, dan Salsa langsung menyambutnya dengan senyum penuh kehangatan.
“Hmm, enak… kamu masak sendiri?” Salsa menatap Lian, kagum.
Lian mengangguk bangga. “Iya dong, khusus buat mamcil dari anakku. Biar kamu tetep sehat dan kuat.”
Salsa tertawa pelan, menatap Lian dengan mata berkaca-kaca. “Duh, kamu nih romantis banget. Bikin aku terharu.”
Lian mengusap kepala Salsa dengan lembut, senyumannya hangat. “Kamu udah ngorbanin banyak buat aku dan Bacil. Masa aku nggak bisa bantu nyuapin kamu makan?”
Salsa menghela napas, hatinya terasa hangat dan nyaman. “Terima kasih, ya. Aku bener-bener bersyukur banget ada kamu.”
Lian hanya tersenyum, dan perlahan menyuapi Salsa lagi. Di tengah kesibukannya menjadi seorang ibu, Salsa merasa kehadiran Lian selalu menjadi penguat untuknya. Malika sudah mulai tenang, matanya terpejam, tampak nyaman dalam pelukan Salsa.
Lian menyeka sedikit sup yang menempel di bibir Salsa dengan lembut. “Udah kenyang?”
Salsa mengangguk, menatap Lian penuh cinta. “Kenyang banget. Rasanya lebih enak karena disuapin sama kamu.”
Lian menatap wajah Salsa yang tampak damai bersandar di bahunya. Malika masih tertidur pulas, dan di momen yang tenang ini, Lian berbisik pelan, “Kamu tau nggak, Ca? Dulu aku nggak pernah kebayang bakal hidup kayak gini. Punya keluarga yang lucu dan bahagia.”
Salsa tersenyum mendengarnya, tapi tiba-tiba dia menatap Lian dengan tatapan menggoda. “Oh iya? Terus, dulu kamu bayanginnya hidup gimana?”
Lian pura-pura berpikir sambil menggaruk dagunya, “Hmm… mungkin jadi petualang, keliling dunia, atau jadi penyanyi terkenal gitu…”
Salsa tertawa, suaranya pelan agar nggak membangunkan Malika. “Ih, sok banget! Pasti dulu bayangannya nggak jauh-jauh dari jadi bapak rumah tangga yang rajin masak buat istri tercinta!”
Lian mengangguk sambil nyengir lebar. “Eh, bener juga, sih. Tapi ini jauh lebih menyenangkan dari jadi petualang atau penyanyi. Ini pekerjaan paling penting, tahu nggak? Suami super buat istri tercantik dan paps paling hebat buat malika.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
FanfictionDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...