Tiga tahun berlalu dengan cepat. Sekarang, Malika sudah hampir tiga tahun dan sedang di masa-masa paling aktifnya. Setiap hari diisi dengan celotehannya yang menggemaskan, permintaan bermain yang tak ada habisnya, dan keinginannya mencoba segala hal.Lian dan Salsa baru saja duduk di meja makan ketika Malika muncul, memakai baju tidur yang kebesaran, rambutnya masih acak-acakan, tapi matanya berbinar-binar. Ia langsung memanjat ke pangkuan Lian, lalu meraih tangan Salsa dengan ekspresi penuh semangat.
“Mama, Papa, ayo main!” katanya sambil menarik tangan keduanya ke arah ruang tamu yang penuh mainan.
Lian tersenyum kecil, menatap Salsa. “Kayaknya agenda pagi ini sudah jelas, ya? Kita main sama bos kecil,” katanya sambil mengangkat Malika, membuat gadis kecil itu tertawa girang.
Salsa tertawa kecil dan mengangguk. “Siap, Bos. Mau main apa, nih?”
Malika memasang wajah serius, seolah sedang berpikir keras, lalu menunjuk ke arah tumpukan boneka-bonekanya. “Main... pesta teh! Aku jadi putri, Papa jadi pangeran, dan Mama jadi ratu!”
Lian dan Salsa berpandangan sejenak lalu tertawa. “Wah, tugas yang berat, nih,” ujar Lian sambil mengacak rambut Malika.
“Si Putri Malika sudah siapin tehnya, belum?”
Malika mengangguk dengan percaya diri, lalu berlari ke arah meja kecilnya yang penuh dengan cangkir mainan. Dengan hati-hati, ia menuangkan “teh” dari teko mainan ke cangkir-cangkir kecil dan menatanya rapi, seolah benar-benar sedang menyiapkan pesta teh kerajaan.
Lian dan Salsa duduk di lantai, mengikuti arahan Malika yang sangat serius dengan perannya. Mereka pura-pura menyesap teh mainan, memberikan pujian, dan memainkan peran mereka dengan penuh kesungguhan, persis seperti yang Malika inginkan. Tawa kecil terus terdengar dari ruangan itu.
Di tengah permainan, Malika tiba-tiba menyuapi “teh” mainannya ke Lian dan berkata dengan suara kecil,
“Papa pangeran baik... yang selalu nemenin aku.” Kata-katanya polos tapi terasa menyentuh. Lian merasakan hatinya hangat, ia tersenyum dan mencium kening Malika.
“papa bakal selalu nemenin Putri Malika, apa pun yang terjadi,” bisiknya lembut, menatap Salsa yang tersenyum haru di sebelahnya.
"Mama, Papa! Malika mau cecita penting!" katanya dengan nada yang terdengar dewasa.
Salsa dan Lian langsung menatapnya, berusaha menahan senyum melihat ekspresi wajah Malika yang lucu tapi begitu serius.
"Iya, ada apa, sayang?" tanya Salsa sambil mengelus kepala putrinya.
Malika memandang keduanya, lalu mulai bicara dengan mimik penuh rahasia.
"Tadi, Malika lihat di TV... ada olang naik kapal besal banget! Telus Malika pikil... 'Kenapa kita nggak punya kapal kayak gitu ya, Pa?'"
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
FanfictionDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...