06 | dodo

118 24 8
                                    


Dohoon tiba di rumahnya yang besar dan mewah, namun suasana terasa sepi dan hampa. Langit-langit tinggi dan lantai marmer yang berkilauan hanya menambah kesan dingin di rumah itu. Lampu-lampu mewah menyala dengan lembut, menerangi ruangan yang luas tetapi kosong.

Saat membuka pintu, Dohoon melihat bahwa tak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. Tak ada suara percakapan atau gelak tawa. Rumah itu benar-benar sunyi, dan ini bukan pertama kalinya ia menghadapi keheningan ini.

“Dohoon?” panggil bibi rumah tangga sambil menghampirinya. “Bibi sudah masakin makan malam, ya. Bibi pamit pulang,” jelasnya dengan senyum ramah, meskipun ada nada iba di suaranya.

Dohoon tersenyum kembali, sudah terbiasa dengan situasi ini. Setiap hari terasa seperti rutinitas yang sama, orang tuanya jarang ada di rumah, sibuk dengan pekerjaan atau perjalanan bisnis mereka. Rumah besar ini hanya menjadi tempat persinggahan baginya, bukan tempat di mana kehangatan keluarga bisa dirasakan.

"Terima kasih, Bibi. Hati-hati di jalan," ucap Dohoon, sambil mengangguk pada bibi rumah tangga itu yang kemudian pergi meninggalkan rumah.

Kini, Dohoon berjalan menuju ruang makan, mengisi kembali kesunyian rumahnya dengan langkah-langkahnya yang ringan.

------

Keesokan paginya, suasana di rumah Dohoon terlihat berbeda. Bibi rumah tangga sibuk di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasanya, sementara keluarga Dohoon duduk di meja makan. Aroma makanan lezat mengisi udara, tapi suasana hati di meja makan jauh dari hangat.

"Bagaimana kegiatan sekolahmu?" tanya ayah Dohoon tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone-nya, lebih tertarik dengan urusan bisnis daripada jawaban anaknya.

"Aku melakukan segalanya dengan baik," jawab Dohoon singkat, mencoba terdengar positif meski ada nada kehampaan dalam suaranya.

Tiba-tiba, ibu Dohoon ikut berbicara, nadanya terdengar sedikit khawatir. "Ibu dengar kamu bolos kursus, apakah itu benar?"

Mendengar itu, ayahnya langsung bereaksi. "Apa?! Apa yang kamu lakukan!" seru ayah dengan nada marah, suaranya memecah keheningan pagi.

"Iya, aku bolos karena membantu temanku," jawab Dohoon dengan tenang, meskipun ia tahu itu tidak akan diterima dengan baik.

Ayahnya semakin geram. "Temanmu yang mana? Apa mereka dari keluarga kaya? Bagaimana nilai mereka?!" Ayahnya terus menyerang dengan pertanyaan yang menunjukkan betapa sedikitnya ia mengerti kehidupan Dohoon di luar prestasi dan status.

Merasa semakin tertekan, Dohoon hanya bisa memutar bola matanya, menahan rasa frustrasi yang sudah mencapai puncaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berdiri dan meninggalkan meja makan. Di matanya, ayahnya lebih peduli pada status dan kesuksesan daripada kebahagiaan Dohoon sendiri. Suasana pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi momen yang menambah berat beban di pundak Dohoon.

Pagi itu, sekolah mulai ramai dengan suara langkah kaki para siswa yang berjalan menuju kelas mereka. Langit cerah, namun ada beban di hati Dohoon yang membuatnya lebih memilih menjaga jarak dari teman-temannya, terutama Hanjin. Dari kejauhan, ia melihat Hanjin berjalan sendirian menuju kelasnya. Ada dorongan dalam hati Dohoon untuk menghampirinya, tapi ia menahan diri. Alih-alih, Dohoon memilih berbelok ke arah lain, senyum tipis muncul di wajahnya sesaat sebelum menghilang. Ia tahu bahwa ia tidak ingin Hanjin melihat keadaan dirinya yang saat ini sedang kacau, dengan pikiran yang terpecah antara masalah di rumah dan tekanan di sekolah.

Di dalam kelas, Dohoon berusaha seperti biasanya. Ia menyapa beberapa teman dan duduk di kursinya yang biasa, tepat di samping jendela. Dari sini, ia bisa melihat lapangan sekolah yang mulai dipenuhi oleh siswa-siswa lain yang sedang bersiap untuk pelajaran olahraga. Dohoon menarik napas dalam-dalam, mencoba mengalihkan pikirannya pada pelajaran yang akan dimulai. Tetapi, fokusnya terus terganggu oleh bayangan percakapan dengan orang tuanya tadi pagi dan perasaan kesepian yang semakin kuat.

MAKE YOU HAPPY !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang