S | handoz

97 11 0
                                    


HAPPY READING
VOTE DAN FOLLOW !

Di sore yang tenang, Hanjin mendorong kursi roda Dohoon menyusuri taman rumah sakit, menikmati angin sejuk dan pemandangan matahari terbenam yang perlahan menghilang di balik cakrawala.

"Lihat, matahari terbenam," kata Hanjin sambil menunjuk ke arah langit yang mulai berubah warna. Suara lembutnya berbaur dengan suasana damai di sekitar mereka.

Dohoon hanya tersenyum kecil, merasa hangat karena kehadiran Hanjin. Walaupun tubuhnya lemah, berada di sisi Hanjin membuatnya merasa lebih kuat. Ada ketenangan dalam kebersamaan mereka, tak perlu banyak kata.

"Han-jina..." Dohoon memanggil dengan suara rendah, menarik perhatian Hanjin yang segera menghampirinya.

"Iya? Kamu butuh sesuatu?" tanya Hanjin, sedikit cemas tapi tetap lembut, seperti biasa.

Dohoon tertawa pelan, "Iya... Aku butuh... kamu." Kata-katanya diikuti tawa kecil, seperti candaan yang selalu ia lontarkan.

Hanjin hanya bisa menghela nafas dan mengelus dadanya, menghadapi candaan Dohoon yang tak pernah berubah, meski situasi mereka tak lagi sama. Namun, di balik canda itu, Hanjin tahu ada rasa syukur yang tak terungkap bahwa mereka masih bisa menghabiskan waktu bersama, bahkan di saat-saat seperti ini.

Setelah mendorong kursi roda Dohoon kembali ke kamar inapnya, Hanjin dengan hati-hati membantu Dohoon berbaring di tempat tidur. Ia merapikan selimut temannya, memastikan Dohoon nyaman.

"Istirahatlah, besok aku akan kesini lagi," ucap Hanjin lembut, memeriksa kembali selimut dan posisi Dohoon. Ia tahu betapa pentingnya istirahat bagi temannya yang tengah dalam proses pemulihan.

Namun, ketika Hanjin hendak berbalik untuk pergi, Dohoon tiba-tiba meraih tangannya. Sentuhan itu lembut, namun penuh permohonan. "Mengapa tidak menginap?" pinta Dohoon dengan nada yang terdengar lelah, namun penuh harap.

Hanjin tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Tidak bisa, aku tak tahu kapan orang tuaku akan pulang," jelasnya, dengan lembut melepaskan genggaman Dohoon dan mengembalikan tangan temannya ke atas kasur. Hatinya berat meninggalkan Dohoon sendirian, namun ada hal-hal yang tak bisa ia abaikan.

Sebelum benar-benar melangkah keluar, Hanjin menatap Dohoon sekali lagi, mencoba menenangkan dirinya. "Dah... aku harap kamu semakin membaik," ucapnya penuh kehangatan, meski dalam hatinya ia merasa berat meninggalkan Dohoon.

Dohoon hanya bisa pasrah, menatap Hanjin yang perlahan menghilang di balik pintu. Meski tubuhnya terbaring, hatinya masih terasa kosong. Ia berharap Hanjin tetap di sisinya, namun ia tahu bahwa tak semua keinginan bisa terwujud.

Hanjin melangkah pelan di koridor rumah sakit, langkahnya berhenti ketika ia bertemu dengan orang tua Dohoon yang baru saja tiba. Ibu Dohoon tampak ragu sejenak, namun akhirnya memanggil dengan suara lembut, "Hanjin?"

Hanjin menoleh dengan sopan, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Ada apa, ibu Dohoon?" tanyanya, memperhatikan wajah wanita yang kini tampak lebih lembut daripada sebelumnya.

Ibu Dohoon menghela napas, dan terlihat rasa bersalah yang mendalam di matanya. "Maaf," katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "aku salah besar tentang kamu. Aku sempat berpikir kalau kamu adalah penghancur hidup anakku. Tapi aku sadar, justru kamulah yang menjadi hidupnya... harapan satu-satunya," jelasnya dengan penuh penyesalan, sembari menundukkan kepala.

MAKE YOU HAPPY !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang