Jemarinya tergerak mengusap punggung tangan itu lembut kemudian menggenggamnya sebelum akhirnya ia merebahkan kepala dengan bertumpu pada tangan itu. Satu tangannya yang lain menyingkirkan helaian rambut dari wajah yang selalu menjadi pusat kekaguman karena kerja kerasnya.
Hatinya menggumamkan doa agar sosok itu bisa segera pulih. Ayahnya, Andreas Wilhelm, dokter bilang asam lambungnya naik karena kecapean dan telat makan. Ia benar-benar di buat panik saat melihat sang ayah limbung di depan pintu kamar. Dengan panik juga khawatir memanggil saudaranya untuk membantu membawa ke rumah sakit.
"Papa jangan sakit lagi. Lian khawatir." Gumamnya pelan sebelum akhirnya ikut menyusul sang papa ke alam mimpi.
Namun yang tidak di sadarinya, Andreas sedari tadi tidak benar-benar tidur. Dia hanya menutup matanya dan berpura-pura saat merasakan jika Aurelian Wilhelm, putra ketiganya itu tiba-tiba saja memegang tangannya.
Sentuhan lembut dari tangan halus itu mengundang rasa nyaman bagi tangan besarnya yang kasar. Terasa begitu hangat hingga ia tidak mau melepaskannya. Dirinya tidak pernah sedekat ini dengan anak ketiganya.
Bukan- dia yang tidak membiarkan Aurelian mendekat padanya. Saat anak itu berjuang keras untuk membuatnya bangga hingga meneteskan keringat, air mata bahkan darahnya karena terlalu memaksakan diri. Tetapi tanggapan biasanya seolah menghancurkan semua usaha Aurelian dalam sekejap mata.
Andreas mengingatnya, bagaimana dengan bangga anak itu menunjukan piagam serta mendali perak saat dirinya berhasil meraih kejuaraan sains di tingkat nasional, tetapi ia malah dengan acuhnya berlalu tanpa memberikan apresiasi apapun.
Putranya yang selalu perhatian pada setiap hal kecil namun juga selalu menjadi sasaran kemarahannya. Kesabaran juga kelembutan selalu Aurelian tampakan seolah tidak pernah merasa lelah dengan penolakan yang ia berikan.
Tetapi bukan karena benci, Andreas hanya tidak bisa mengekspresikan diri saja. Aurelian lahir terhimpit. Saat usianya masih berusia satu tahun nyonya Wilhem sudah kembali di karuniai seorang bayi yang menjadi bungsu sekaligus sebab merenggangnya nyawa sang istri.
Kehamilan yang tiba-tiba di saat tubuhnya belum benar-benar membaik dari kelahiran Aurelian, membuat sang nyonya Wilhem pun menghembuskan nafasnya sehari setelah melahirkan akibat pendarahan hebat yang terjadi pasca lahiran.
Hal itu membuat Andreas stress bukan main hingga menelantarkan anak-anaknya. Ia mungkin berhasil bangkit dari keterpurukannya karena sebuah surat tertulis yang menjadi wasiat terakhir sang istri, tetapi yang ia lupakan adalah keberadaan Aurelian kecil.
Andreas hanya fokus pada membesarkan bungsunya, apapun keinginan si bungsu akan Andreas berikan, dan perlakuan itu pun di ikuti oleh dua putra tertuanya, membiarkan Aurelian teracuhkan tanpa sadar.
Tetapi, putra ketiganya itu seolah tidak mengenal kata lelah, ia selalu berusaha untuk mendekat dan bergabung. Ia juga ingin berada di jejeran orang yang bisa memberikan perlindungan yang sama pada si bungsu meskipun pada akhirnya dirinya selalu di anggap sebagai penghalang bagi bungsu Wilhem itu.
Menurutnya, Aurelian itu cerewet dan sok tahu. Kebebasannya seolah terenggut oleh larangan sang kakak, saat kejengkelannya tiba maka si bungsu akan mengadukannya pada sang papa, dan Andreas akan memarahi Aurelian tanpa menerima alasan apapun darinya. Tak jarang sebuah tamparan ringan dari tangannya hinggap saat Aurelian mencoba untuk membela diri.
Kedua kakaknya pun tidak jauh berbeda, kejadian Aurelian yang terpojok seolah sudah hal biasa. Kata-kata pedas yang di terima anak itu di buat seperti angin belaka yang tak di hiraukan. Entah apa yang membuat Aurelian tetap kuat hingga hanya sebuah senyuman yang selalu nampak. Kelembutanlah yang selalu mereka dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hyacinth [Hiatus]
Random[Brothership, Familyship, & Bromance Area] [Not BL!] . . . Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kali...