Andreas memarkirkan mobilnya tepat di pintu masuk mansion, dirinya mengernyit kala melihat motor putra keduanya sudah terparkir rapih di sana. Turun dari mobil di ikuti oleh Aurelian, dirinya menyerahkan kunci mobil kepada penjaga yang bertugas setelahnya mendekat pada Aurelian dan menggandeng tangan sang anak untuk masuk kedalam.
"Apa kak Cal sudah pulang papa?" Tanya Aurelian menatap Andreas di sampingnya.
"Sepertinya begitu." Jawab Andreas, dirinya menatap sang anak yang terlihat menunduk itu, lalu mengusak kepala itu pelan, "Calix tidak akan melukai mu lagi."
Mendengar hal itu, Aurelian kembali mendongak, "bukan itu maksud Lian, pa. Hanya saja, tumben sekali kak Cal tidak bermain dulu, biasanya ia paling suka menghabiskan waktunya dengan teman-temannya, kan?"
Ah, nampaknya Andreas lupa jika Aurelian begitu memperhatikan mereka selama ini hingga setiap kebiasaan kecil dapat anak itu hapal dengan baik.
"Mungkin dirinya bosan." Andreas terdengar tidak terlalu peduli dengan hal itu, justru ia senang jika Calix ada di rumah. Bukan apa, tetapi Calix itu jarang sekali menghabiskan waktunya di rumah bahkan jika itu hari libur. Sekali anak itu pulang, Calix hanya akan membuat keributan antara ia dan Aurelian hingga membuat Andreas sedikit jengah dengan tingkahnya.
"Benarkah? Apa bisa begitu? Lian tidak pernah merasakannya tuh."
"Memang apa yang selalu kau lakukan saat pulang sekolah?" Kali ini giliran Andreas yang bertanya.
Aurelian terlihat berpikir, pandangannya beralih seolah tengah menerawang ingatannya, "hm, pulang ke rumah dan belajar. Lian selalu menyempatkan diri untuk kembali mempelajari materi yang sudah guru sampaikan agar tidak lupa. Lian kan ingin menjadi anak yang pandai dan meraih peringkat seperti kakak dan adik. Sayang sekali karena itu begitu sulit untuk Lian gapai." Katanya.
Intonasi pada kalimat terakhirnya berubah seolah mengandung kekecewaan dalam yang di tujukan untuk dirinya sendiri. Senyumnya pun terlihat lebih satu dengan pandangan menatap ke arah lantai marmer yang melapisi seluruh dasar mansion.
"Maaf papa, Lian belum bisa memberikan apapun untuk papa selama ini."
Andreas terdiam dalam langkahnya, ia bingung harus berkata apa saat ini karena jujur apa yang di katakan oleh Aurelian merupakan salah besar. Justru dirinyalah yang belum memberikan apapun pada anaknya itu, kenapa Aurelian yang malah minta maaf seolah anak itu bersalah akan segala hal.
Genggaman tangannya mengerat, "kau telah memberikan banyak hal Lian. Banyak sekali hingga papa tidak bisa membalasnya. Karena itu sekarang fokuslah pada dirimu sendiri, jangan terlalu memikirkan kami. Sudah cukup kau mendahulukan kami diatas segala hal pada dirimu selama ini, setelahnya jangan lagi."
Manik itu terlihat berair, belum sempat menetes Andreas langsung menutup mata Aurelian dengan tangannya yang lebar, "tidak ada air mata lagi mulai sekarang, boy. Sudah cukup untuk itu semua. Papa tidak suka saat cairan itu turun dari mata mu."
"Ma-"
"Dan tidak ada lagi kata maaf. Papa juga tidak suka kata itu keluar dari mulut mu." Potong Andreas cepat sebelum sempat Aurelian menyelesaikan perkataannya.
Percakapan itu di dengar oleh Calix yang memang tengah berada di ruang utama sembari melamun. Dirinya tidak langsung menuju kamar saat pulang, memilih untuk duduk di sofa empuk yang berada di sana dengan pikiran melayang hingga suara dari sang papa dan Aurelian mengalihkan atensinya.
Terdiam saat mendengar kata demi kata yang terlontar dari papa dan adiknya, otaknya mencerna setiap kata itu dengan baik hingga perasaannya semakin di buat tak karuan. Karena itu ia bangkit dari posisinya berniat untuk pergi ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hyacinth [Hiatus]
Random[Brothership, Familyship, & Bromance Area] [Not BL!] . . . Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kali...