Matanya terbuka melihat sekitar. Dahinya mengernyit saat merasa ada hal aneh yang terjadi. Bagaimana bisa dia ada di sini? Seingatnya tadi dirinya tengah berada di kamar putra ketiganya yang sudah lama tiada sembari memeluk baju-baju yang biasa di pakainya. Tetapi sekarang kenapa ia bisa ada di ruang makan?
Manik hitam malamnya menatap satu persatu ketiga anaknya yang nampak lebih muda dari ingatannya terakhir. Bahkan bungsunya terlihat masih menggunakan baju seragam sekolah menengah atas. Ketiganya tengah dengan khidmat menikmati sarapan yang tertata di atas piring.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Pikirannya teralihkan pada langkah kaki yang terdengar terburu turun dari arah tangga kemudian semakin mendekat kearahnya. Matanya melebar dengan getar tak percaya menatap pada sosok yang berdiri di ambang pembatas antara ruang makan dan ruang utama dengan sedikit terengah.
"Maaf, aku terlambat." Ujarnya, raut wajahnya nampak tak enak karena telah membuat sang papa dan saudaranya menunggu, meskipun pada akhirnya tetap sarapan terlebih dahulu tak menghiraukan kehadirannya.
Langkahnya ia bawa mendekat pada sembari menunduk dalam karena tidak ingin bertatapan langsung dengan sang papa yang menatapnya aneh? Saat tangannya hendak menarik kursi, suara Andreas menghentikan gerakannya.
"Aurelian?"
"Saya, papa." Jawab Aurelian cepat masih dengan menunduk. Jemari tangannya saling bertaut merasa gugup takut papanya itu marah.
Lain hal dengannya, ketiga saudaranya yang lain menatap dengan kernyitan dahi pada sang papa. Tumben sekali Andreas memanggil Aurelian seperti itu. Apa lagi nada bicaranya terdengar sangat aneh, seperti bergetar yang terselip nada tak percaya.
"Itu benar kau kan?"
Pertanyaan ambigu yang mengundang rasa bingung kembali terlontar dari mulutnya namun Andreas tidak mempedulikan raut berbeda yang di tampilkan anak-anaknya, yang ia pikirkan sekarang hanyalah satu. Putra ketiganya yang selalu ia abaikan. Putra yang kehidupannya ingin dirinya berikan yang lebih baik lagi tetapi tidak sempat ia lakukan.
Aurelian melirik berbagai ekspresi berbeda yang di tampakan oleh ketiga saudaranya yang lain, sebelum memantapkan diri untuk menatap lurus pada Andreas takut-takut.
"Iya papa."
Keheningan mengisi seolah mereka tengah memikirkan hal langka yang terjadi sekarang. Si sulung Wilhelm, Lysander Wilhelm menatap sang papa dan adik keduanya itu bergantian merasa ada yang aneh dengan situasi sekarang.
"Papa, apa ada hal yang terjadi?" Tanyanya pada Andreas yang tidak di hiraukan olehnya. Andreas masih dengan lurus menatap Aurelian yang kian bertambah gugup di tatap dalam seperti itu.
Apa ini? Apa dirinya benar-benar membuat kesalahan yang tidak dia sadari? Tapi apa? Aurelian di buat tidak berkutik sekarang.
"Mendekat lah." Ujar Andreas mengundang tanya, membuat si empu tersentak kaget namun tak ayal kakinya pun ia gerakan untuk menuruti perintah sang papa.
Berdiri berhadapan dengan Andreas dengan gugup, keringat dingin bahkan sudah membasahi telapak tangannya, "apa Lian melakukan kesalahan papa? Lian minta maaf jika begitu." Ucap Aurelian.
Namun hal tak terduga kembali terjadi, Andreas tiba-tiba saja memeluk tubuhnya erat dengan kepala yang sejajar dengan dada Aurelian, membuatnya tersentak kaget dengan apa yang di lakukan papanya itu. Demi apapun ini pertama kalinya, ia jadi di buat bingung dengan apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Papa, apa yang terjadi? Itu Lian, benar-benar minta maaf." Ujar anak itu kian di buat kebingungan.
"Diam lah! Biarkan aku mendengarnya lebih lama lagi." Ujar Andreas sedikit menyentak membuat anaknya itu diam dengan patuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hyacinth [Hiatus]
De Todo[Brothership, Familyship, & Bromance Area] [Not BL!] . . . Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kali...