Malam itu Andreas dan yang lainnya tidur di kamar Aurelian, saling bertumpuk juga sebagian ada yang di sofa mengingat ranjangnya tidak berukuran terlalu besar. Tangannya yang menjadi bantalan bagi Aurelian di pelukannya, Orion ada di sisi lain kasur turut memeluk tubuh sang kakak dengan menenggelamkan kepalanya di bahu Aurelian. Sedang Calix menyandar di bahu Lysander, kedua putra tertua Andreas itu tertidur dengan posisi duduk di sofa.
Setelah Aurelian menangis histeris sebelumnya, mereka jadi tidak tenang meninggalkan anak itu sendirian. Apalagi kala mengetahui alasan Aurelian menjadi seperti itu karena ia takut di tinggalkan lagi, semakin pula mereka tidak ingin berpisah.
Andreas yang masih belum sepenuhnya terlelap pun mengelus kepala Aurelian, menyingkirkan rambut yang menghalanginya memandang wajah sembab itu, kemudian ia mencium kedua pasang kelopak berhiaskan bulu mata basah itu lembut. Tangannya beralih pada kepala Orion, "selamat malam putra-putra ku. Papa harap mimpi indah datang menjemput kalian."
Hari itu Andreas pun dibuat tidak berkutik, ternyata sikap acuh dan keranya dulu pada Aurelian berdampak begitu besar pada psikis anaknya. Dengan harapan yang dalam untuk memperbaiki semuanya, rasa sesak memenuhi rongga dadanya hingga membuat mata itu berkaca-kaca dan setetes cairan bening pun meluncur jatuh ke atas bantal, mencium kening halus anaknya itu sebelum ia benar-benar terlelap.
.
.
.Keesokan paginya, Aurelian bangun dan memperhatikan sekitar, kasur yang di kelilingi oleh kelambung transparan sebagai penghalang agar dirinya tidak digigit oleh nyamuk, lagian tidak menutup kemungkinan sekelas mansion Wilhelm terbebas dari serangga penghisap darah itu meskipun kebersihan dijaga dengan sangat ketat.
Kepalanya terasa berdenyut mungkin karena dirinya terlalu lama menangis semalam, atau bisa juga karena efek kemoterapinya. Hanya saja, keadaan hatinya entah mengapa terasa lebih ringan seperti beban berat yang ada disana sudah terangkat.
Menundukan sedikit pandangannya kala ada sesuatu melingkari tubuhnya erat, adik bungsunya ternyata masih terlelap dengan memeluk tubuhnya. Kepala Orion yang sejajar dengan dadanya memudahkan Aurelian untuk mengelus sayang adiknya itu, "maaf adik, semalam aku membuat kalian semua khawatir tanpa sebab."
Kecupan ringan Aurelian daratkan di ubun-ubun Orion, membalas pelukan adiknya itu dan kembali memejamkan mata sebelum suara dari Orion menarik lagi kesadarannya, "iya kak. Jadi aku harap, kedepannya kau tidak akan melakukan hal itu lagi."
"Tidak akan, adik. Jika memang begitu, tolong tahan aku dan kembalikan kesadaran ku lagi agar aku tidak lupa jika kini aku tidak sendirian sekarang."
Dalam dekapan hangat yang Aurelian berikan Orion mengangguk mengiyakan. Jika dulu ia membiarkan kakaknya itu berjuang sendirian akan hidupnya maka sekarang Orion akan ikut menopangnya. Jika dulu ia mendorong Aurelian pada jurang sakit hati yang dalam, maka sekarang Orion lah yang akan ikut menanggungnya. Dirinya tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi.
"Kalian tidak akan bangun? Sekarang waktunya untuk sekolah."
Suara dari sang papa yang masuk ke dalam kamar dengan tangan merapihkan kancing jasnya pun mengalihkan perhatian keduanya. Orion menatap sebal pada papanya sedang tangannya masih tidak mau melepaskan pelukannya pada pinggang ramping sang kakak, "papa, mengganggu!" Desisnya kesal.
Andreas menaikan sebelah alisnya, namun langkahnya terus ia bawa mendekat pada ranjang memilih untuk memusatkan perhatiannya pada Aurelian yang terkekeh kecil merasa geli dengan tingkah adiknya itu, "jangan seperti itu adik. Papa kemari untuk mengingatkan kita, jadi ayo bangun dan bersiap." Katanya lembut mengundang senyuman dari Andreas dan Orion yang memberenggut namun anak itu tetap mematuhinya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hyacinth [Hiatus]
De Todo[Brothership, Familyship, & Bromance Area] [Not BL!] . . . Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kali...