Kini Aurelian dan Andreas tengah berada di dalam mobil hendak pulang kembali ke mansion, pandangan Aurelian nampak hampa dan kosong menatap jalanan kota yang cukup ramai membuat Andreas di landa rasa tidak enak di hatinya. Meminta sopir untuk berhenti di sebuah pusat perbelanjaan besar, Andreas turun lalu membuka sisi pintu yang lain, mengulurkan tangannya pada Aurelian yang kebingungan.
"Ayo, kita berbelanja terlebih dahulu sebelum pulang." Ajaknya.
Aurelian menerima uluran tangan sang ayah lalu ikut turun dan berjalan mengikuti langkah Andreas, "apa papa membutuhkan sesuatu?" Tanyanya.
Genggaman tangan itu tidak terlepas, Andreas akan selalu menyukai rasa hangat yang melingkupi tangannya kala memegang tangan Aurelian, "tidak ada." Sahutnya.
"Lalu, kenapa papa mengajak saya kemari?"
Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Andreas justru balik bertanya padanya, "Apa kau membutuhkan sesuatu? Aku akan membelikan apapun yang kau mau."
Dengan kaki yang terus melangkah dan tatapan matanya yang fokus kedepan tanpa melihat bagaimana sorot mata sang anak yang kini melembut, Andreas tidak menyadari bahwa seulas senyuman tipis terukir di bibir Aurelian. Ah, anak itu mengerti sekarang mengapa sang ayah mengajaknya kemari.
"Papa, saya tidak apa-apa. Saya mungkin sedikit sedih, tetapi karena papa menguatkan saya, jadinya saya merasa bahwa hal itu bukanlah masalah besar bagi saya. Diri saya mungkin tidak memberikan hal apapun yang dapat membuat mu bangga, tetapi saya bersyukur karena papa bersama saya di saat mendengar kalimat dari dokter tadi. Saya harap jika saya pergi nanti, papa juga akan berada di samping saya seperti apa yang papa lakukan sebelumnya."
Andreas terdiam, langkah kakinya berhenti, ia menoleh pada Aurelian yang menatapnya dengan tersenyum teduh mengundang sakit dari hatinya yang teriris akibat perkataan sang anak. Ingatannya kembali berputar pada saat ia melihat tubuh Aurelian yang terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit, mengingat bagaimana hatinya tercabik saat itu.
"Kau tidak akan pergi kemana pun. Aku akan mencari dokter terbaik di seluruh dunia ini untuk menyembuhkan mu. Jadi jangan mengatakan hal mengerikan seperti itu lagi." Andreas menatap begitu dalam menyelam pada manik madu sang anak dengan tegas mengatakan bahwa ia menolak kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Aurelian.
Tak dapat di bohongi bahwa kini hatinya tersentuh bukan main, melihat bagaimana seriusnya sang papa saat mengatakan hal itu, senyumannya mengembang dengan lebar, membuat matanya sedikit menyipit dengan manis, "kalau begitu, saya juga akan berjuang untuk bisa sembuh dengan baik."
Andreas mengulurkan tangannya, ada sedikit rasa was-was di hari Aurelian saat melihat hal itu mengingat bahwa tangan itu pernah sekali melayang di pipinya, membuat hati Andreas bergetar ragu saat kelopak mata itu terpejam kuat.
Tetapi ia sudah memutuskannya, bahwa ia akan berubah. Ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin di kesempatan yang di dapatnya kali ini. Bahwa ia tidak akan pernah membuatnya menangis apalagi sampai melukainya.
Karena itu Andreas meneguhkan hatinya untuk mendaratkan telapak tangannya pada kepala Aurelian, mengusaknya beberapa kali dengan lembut membuat anak itu tersentak dan secara perlahan membuka kembali matanya. "Itu bagus. Aku akan menemani mu untuk berjuang kali ini."
Manik madu Aurelian terlihat bergetar dengan cairan bening yang mulai berkumpul menghiasinya, "papa janji?" Tangan kurus itu terulur memperlihatkan jari kelingkingnya.
Andreas menautkan jari kelingkingnya pada milik Aurelian. Perbandingan di antara keduanya terlihat kontras. "Janji."
"Lalu, bicaralah dengan lebih santai. Panggil lah dirimu dengan nama mu sendiri saat berbicara dengan kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hyacinth [Hiatus]
Random[Brothership, Familyship, & Bromance Area] [Not BL!] . . . Perlakuan kasar juga sikap acuh tak acuh menjadi landasan penyesalan mereka saat melihat tubuh itu terbaring kaku di ranjang pesakitan setelah sebelumnya di tangani oleh dokter. Satu kali...