11

226 57 5
                                    

“Ayah, aku salah, jadi jangan memelototiku lagi!” Asa mengatupkan kedua tangan memohon seraya melirik sosok yang sejak pagi tadi terlihat sensi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ayah, aku salah, jadi jangan memelototiku lagi!” Asa mengatupkan kedua tangan memohon seraya melirik sosok yang sejak pagi tadi terlihat sensi.

Taeyong Lee, pria yang umurnya nyaris direveal oleh anaknya sendiri di depan sosok yang sekarang sedang berkeliling taman bersama Gustav, mengangkat dagu angkuh memandang putrinya sinis. “Kau tahu aku sudah memperingatimu soal ini beberapa kali, ‘kan, Enami?”

Asa mengulum bibir seraya memalingkah wajah. “Iya ....”

“Dan kau harus tahu aku belum pernah hidup seratus tahun melainkan baru delapan puluh tahun.”

Asa memainkan jarinya lalu menggerutu pelan, “Sama saja ... sudah tua.”

“Hah?”

“Tidak, tidak.” Buru-buru dia menggelengkan kepala, terkejut melihat ekspresi galak ayahnya. “Maaf, Ayah. Aku hanya terlalu bersemangat.”

Taeyong mendengkus pelan. Dia yang duduk di sofa dalam kamarnya memandang satu satunya putri yang dia punya, seorang putri manja yang sekarang tengah berlutut di atas lantai setelah melakukan pengakuan dosa. Helaan napas Taeyong terdengar gusar. Pada akhirnya dia mendecak dan menepuk dua kali bagian sofa yang kosong di tepinya membuat Asa mengulas cengiran lebar.

Taeyong tak melawan saat Enami Asa menerjangnya dengan pelukan. Tangan Taeyong kemudian menyentuh jidat si anak, menjitaknya lumayan keras sampai Asa mengaduh, lalu dia mengelus kening bocah itu dan meniupnya.

“Jangan diulang,” kata Taeyong menegur, takut putrinya asbun kembali padahal mereka sudah berkompromi tidak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Taeyong dan Gustav sudah beberapa kali mengingatkan Asa untuk tidak sembarang bicara mengenai asal usul mereka.

Tentu saja  Asa yang nakal lagi keras kepala itu awalnya tidak mau patuh begitu saja. Anak ini selalu menanyakan hal-hal yang menurutnya tidak sesuai dengan preferensinya sendiri. ’Ibu tidak mungkin bisa menjangkau hal-hal bersifat metafisika’, atau, ‘nalar Ibu tidak akan sampai pada hal-hal seperti ini dan menyimpulkannya’, atau bahkan, ‘Ibu tidak bisa memahami hal-hal sifatnya transendental seperti kita’. Sekilas terdengar seperti merendahkan Kim Jisoo, tetapi perkataan Asa tidak sepenuhnya salah.

Mereka saat ini hidup di dunia yang tidak lagi percaya pada hal-hal berbau imajiner seperti ini. Iblis hanya dianggap rekaan, dan manusia tidak bisa memikirkan sesuatu yang merujuk pada hal yang berada di luar dan melampaui pengalaman empiris langsung. Oleh sebab itu pula anggapan Asa memang tidak ada salahnya.

Hanya saja, kenapa Taeyong selalu cemas seperti ini?

Ketidaktahuan manusia justru adalah hal yang membuat Taeyong merasa was-was. Semakin banyak mereka tak tahu, sekalinya mereka ingin tahu, tidak ada yang akan menjamin mereka tidak bisa mendapatkan yang mereka inginkan. Ahn Jisoo adalah contoh nyata. Wanita itu awalnya tidak tahu apapun, tetapi karena ketidaktahuannya itulah justru mengantarkannya pada ambisi untuk segera melarikan diri dari Taeyong yang saat itu memanfaatkannya saja.

Paranoia • jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang