15 (ano tidak mau!)

395 37 14
                                    

Hari senin sampai jumat merupakan jadwal Ano untuk bersekolah. Kalau weekend dia akan berlibur bersama sang ayah. Theo tidak memaksa Ano untuk les atau sebagainya. Menurut Theo itu tidak terlalu penting.

Lagipula tanpa les Ano paham segala materi pelajaran. Itu hal yang sangat patut Theo syukurin saat ini. Walaupun Ano tidak pintar, pun dia masih memiliki sebuah pekerjaan tetap di masa depan.

Seperti sekarang Theo tengah mengajarkan Ano tentang berkebun. Lihat saja bagaimana kotornya kedua tangan Ano. Tidak ada wajah kesal dari Ano. Anak itu nampak menikmati bermain tanah bersama sang ayah.

Akhir pekan dinikmati oleh Ano bersama sang ayah. Bahkan Theo mengajarkan keberanian terhadap Ano untuk menghadapi semua orang. Itu alasan Ano mampu melawan pembully dua minggu lalu.

"Tanam bunga nya yang benar sayang," ujar Theo.

"Okey!" pekik Ano.

Theo terkekeh geli akan jawaban sang putra. Ano memang anak yang mudah mempelajari hal baru. Jadi Theo tidak terlalu repot untuk mengajarkan apapun terhadap Ano.

Ilmu bela diri saja dipelajari sangat mudah oleh Ano. Theo juga berencana akan mendaftarkan Ano di kelas ilmu bela diri dalam waktu dekat.

Akhirnya mereka berdua selesai berkebun. Theo mengangkat tubuh kotor Ano. Namun Ano tidak mau jadi Theo membiarkan Ano bermain tanah dulu.

Anak itu sibuk menggali tanah, dan memamerkan cacing tanah kepada ayahnya. "Ayah cacingnya ada kalung!" pekik Ano.

"Iya nak," ujar Theo.

"Ano mau main tanah dulu," ujar Ano.

"Siram dulu bunga yang kamu tanam," ujar Theo.

"Iya!" pekik Ano.

Ano berlari menuju selang air. Anak itu telah tahu seluk beluk rumah milik Theo. Theo membiarkan saja tindakan sang putra. Dia akan mengawasi saja tanpa mencegah tindakan Ano.

Tak lama Ano datang dengan selang cukup panjang. Ano menyiram semua bunga yang telah ditanam. Selesai melakukan itu Ano dengan jahil mengarahkan selang kepada sang ayah.

Theo sedikit kaget akan tindakan jahil Ano. "Ya Allah sayang," ujar Theo mengelap wajahnya dari air.

"Hehehe," tawa Ano.

Theo akan mendekat kearah sang anak. Dengan langkah pasti Ano berlari menjauh dari sang ayah. Tawa Ano pecah mendapatkan kenangan menyenangkan bersama Theo.

Kenangan yang tidak mungkin dia nikmati sebelumnya. Lelah berlari Ano malah menghampiri sang ayah, dan memeluknya sangat erat.

Wajah Ano penuh keringat. Theo menghapus keringat sang putra. "Ayah mau bobo siang," ujar Ano.

"Ayo!" ajak Theo.

Ano meminta gendong dengan senang hati dituruti oleh Theo. Dengan sebuah elusan di punggung agar Ano lebih tenang. Beberapa menit mendapatkan elusan sang ayah Ano tertidur pulas begitu saja.

Theo mencium kening sang putra. "Padahal belum mandi. Sudah tidur saja kamu, nak," ujar Theo.

Tiba di dalam rumah Theo membawa sang putra menuju kamarnya. Ia membaringkan tubuh Ano di kasur. Theo mengambil baju ganti untuk sang putra. Setelah itu ia mengganti baju Ano yang sangat basah. Tak lupa minyak telon ia berikan di perut Ano. Selesai itu bedak tabur ia taburin di perut dan burung kecil sang anak. Pertama Theo memakaikan kaos dalam, celana dalam dan setelah itu satu set baju jumpsuit bergerak pinguin.

Cuaca cukup dingin jadi Theo mau agar Ano tetap hangat. Theo mendekat kearah telinga kanan Ano.

"Ayah mandi dulu sebentar. Ano kalau bangun cari ayah di kamar mandi ya. Pintunya tidak dikunci kok," bisik Theo di telinga Ano.

Theo membuka baju yang ia gunakan. Dan masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia selesai. Kebetulan kamar mandi Theo terhubung dengan lemari baju jadi dia sekalian memakai baju.

Duda itu memutuskan tidur di sebelah sang putra. Theo memperhatikan wajah damai Ano dalam tidur. "Menurut orang lain apabila kita tulus merawat anak yang bukan darah daging kita sendiri, maka anak tersebut akan semakin mirip dengan orang yang merawatnya. Sekarang orang lain, berkata bahwa aku dan Ano memang sangat mirip," ujar Theo mengelus pipi bulat Ano.

Theo mencium kening, kedua pipi dan hidung Ano. "Ayah tidak keberatan untuk merawatmu nak. Ayah pikir kehadiranmu merupakan kado dari Allah untuk ayah," ujar Theo.

Sejak dulu Theo mengharapkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya. Bahkan saat sang mendiang istri dinyatakan hamil ia amat senang. Namun berita selanjutnya merupakan pukulan berat bagi Ano. Menurut dokter sang istri akan melahirkan anak yang berkebutuhan khusus. Tidak masalah bagi Theo asalkan anak tersebut lahir.

Tapi takdir berkata lain sang istri dan anaknya tiada sebelum melihat sang ayah. Jadi sejak hari itu Theo sedikit malas berhubungan dengan orang lain.

Hingga kehadiran Ano merubah segalanya. Ia yang jarang tersenyum kembali tersenyum. Kehadiran Ano merupakan obat bagi rasa kehilangan Theo.

Pria dewasa berusia tiga puluh tahun itu memiringkan tubuhnya lantas memeluk sosok mungil di sebelahnya. "Ayah sayang sekali padamu nak. Jadilah anak ayah selamanya," ujar Theo.

Ano membalas pelukan hangat sang ayah. Anak kecil tidak pernah berbohong tentang rasa nyaman apapun. Bahkan Ano mudah sekali akrab dengan Theo. Padahal Ano merupakan korban keegoisan orang dewasa dulu.

Perlahan rasa trauma Ano mulai menghilang. Menurut dokter rasa nyaman yang diberikan Theo untuk Ano salah satu kunci kesembuhan Ano berjalan sangat cepat.

"Ayah," gumam Ano.

"Kenapa sayang?" tanya Theo.

"Ano tidak mau punya ibu," sahut Ano.

"Mengapa begitu?" tanya Theo.

"Pokoknya Ano tidak mau!" pekik Ano.

"Baiklah," ujar Theo.

Sisi paling parah dalam trauma Ano merupakan seorang wanita. Mungkin alasan itu didasari dikarenakan Ano mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sosok wanita di panti asuhannya dulu.

Bahkan Theo seringkali menemukan bahwa Ano tidak nyaman didekati oleh sosok wanita. Ano menjaga jarak dengan wanita atau anak perempuan seumurannya.

Itu sedikit mengkhawatirkan bagi Theo. Ia takut sang anak akan kesulitan mendapatkan pasangan saat dewasa kelak. Jadi Theo akan berusaha agar Ano tidak merasa trauma tentang wanita. Walaupun itu sangatlah sulit.

Malam harinya di kamar Ano anak kecil itu tengah menghitung soal matematika. Tangan kecil Ano dengan lihai mencari jawaban dari coretan. Di sebelah Ano ada sosok Theo yang sibuk mengerjakan tugas kantor.

Ano terlalu rajin belajar. Jadi Theo perlu mengawasi sang putra akan tidak kebablasan belajar.

"Sayang sudah mau jam sepuluh malam lho," nasihat Theo kepada sang putra.

"Sedikit lagi ayah," ujar Ano.

Sifat Theo sedikit menurun kepada Ano. Ayolah mereka berdua sama-sama keras kepala. Benar ucapan orang bahwa anak kecil akan meniru segala tindakan kedua orangtuanya.

Theo mengangkat tubuh kecil dari kursi belajar. "Tidak ada! Kau harus istirahat sekarang!" tegas Theo.

"Dikit lagi ayah!" rengek Ano yang berontak bahkan menendang-nendang angin.

"Tidur!" tegas Theo.

"Gak mau!" pekik Ano.

"Mau ayah suntik lagi kamu!" ancam Theo.

"Jangan suntik ayah!" rengek Ano.

"Makanya tidur! Jangan terlalu keras belajar!" tegas Theo.

Bibir Ano maju beberapa senti mendengar ceramahan sang ayah. Ayolah ia mau belajar malah dilarang sang ayah.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Senin 19 Agustus 2024

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang