6 (pemulihan)

1K 72 32
                                    

Terhitung sudah dua hari Ano bersunat. Anak kecil itu tengah memperhatikan sang ayah. Terlihat Theo sibuk memasak bahkan apron berwarna biru langit tengah ia pakai.

Ano menggunakan baju bergambar dinosaurus. Ia belum diperbolehkan menggunakan celana terlebih dahulu. Bahkan ia sering dimandikan oleh sang ayah.

Ketika salat Ano akan menggunakan sarung, dan sebuah celana dalam khusus bagi anak yang tengah sunat. "Ayah!" panggil Ano.

Mendengar sang anak memanggil dengan cepat Theo menghampiri. "Ada yang kamu perlukan?" tanya Theo.

"Ano mau susu cokelat," jawab Ano.

"Baiklah." Theo mencium kening sang anak. "Susu permintaan pangeran kecil ayah akan segera dibuatkan," ujar Theo.

Pria berumur tiga puluh mulai membuat segelas susu. Tangan sebelah kanan Theo sibuk mengaduk sup yang ia masak. Kedua tangan Theo mengerjakan pekerjaan berbeda.

Jujur sejak awal Ano tinggal disini ia sangat kagum kepada Theo. Sang ayah seolah terbiasa melakukan hal tersebut. Theo tidak merasa kaku mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.

"Ano mau deh kayak ayah pas besar nanti," ujar Ano.

Sang ayah tersenyum tipis mendengar ucapan sang anak. "Ano perlu lebih tinggi dari ayah dulu. Agar nanti Ano bisa seperti ayah," ujar Theo.

"Ano bangga punya ayah."

"Dulu Ano sering dibilang anak haram."

"Padahal Ano tidak tahu artinya apa."

"Pas Ano tanya mereka malah melemparkan Ano batu sangat besar."

"Dahi Ano berdarah akibat itu ayah."

"Sakit banget tahu. Ano kan cuma bertanya saja tidak lebih."

"Terus mereka bilang bahwa anak haram tidak layak untuk didekati."

"Ano semakin bingung mengenai itu ayah."

"Memang benar ya, Ano itu anak haram?" tanya Ano.

Pertanyaan polos Ano menghentikan Theo untuk memasak. Ia menghampiri sang anak. Mata polos Ano menjadi tatapan yang ia lihat. Dirinya tidak tahu alasan bahwa anak sekecil Ano mendapatkan perlakuan tidak pantas.

"Sekarang dan selamanya. Ano itu anak ayah Theodoro Marvin. Tidak akan ada orang yang mengatakan bahwa Ano anak haram lagi," ujar Theo memegang kedua pundak sang anak.

"Ano ingin tahu artinya ayah. Ano rasa perkataan mereka sangat sakit," ujar Ano memegang dadanya.

Theo mengelus dada sang anak. "Rasa sakit di dada ini. Keluar ya dari putra ayah yang ganteng," ujar Theo.

Perhatian sang ayah kepada dirinya seolah menghipnotis Ano. Anak kecil itu tak merasa bahwa ia menangis.

"Air mata Ano kenapa keluar sih?!" protes Ano menghapus air matanya sendiri.

Theo terkekeh akan ucapan sang anak. "Ini air mata kebahagiaan tahu," ujar Theo memberitahu.

"Ano bahagia sekali kok tinggal bersama ayah," ujar Ano.

Ano tersenyum sangat lebar. Senyum penuh kegembiraan bagi anak sekecil Ano. Terlihat jelas juga bahwa Ano memiliki lesung pipi di kedua pipinya. Terlihat manis dan ganteng secara bersamaan.

"Anak ayah sangat ganteng," puji Theo.

"Ayah lebih ganteng tahu," ujar Ano.

"Kenapa Ano tahu bahwa ayah ganteng?" tanya Theo.

"Kemarin Ano lihat berita. Ada ayah disana, kata pembaca berita ayah itu sangat tampan, dan digilai wanita."

"Ano tidak paham mengenai digilai wanita?" bingung Ano.

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang