19 (belajar berenang)

230 32 2
                                    

Kaki kecil Ano akan masuk ke kamar sang ayah ditahan oleh seorang pria paruh baya. "Ano ikut kakek yuk!" ajak Martin.

"Ano izin dulu sama ayah," ujar Ano.

"Tidak perlu. Masa kamu tidak percaya sama kakekmu sendiri sih," keluh Martin.

Tubuh kecil Ano diangkat begitu saja. Pelakunya adalah Theo. Jujur Theo tidak mau sang anak dekat dengan Martin. "Aku yang memberi nasihat kepada Ano, agar tidak mau menerima ajakan orang lain," ujar Theo.

"Nasihatmu kejam sekali. Aku hanya mau berdekatan dengan cucuku saja," ujar Martin.

"Cari cucu lain saja. Ano adalah putraku," ujar Theo.

"Putraku hanya kau!" protes Martin.

Martin berniat akan memukul kepala Theo ditahan oleh tangan kecil Ano. "Tidak boleh pukul ayah. Nanti kepala ayah sakit," ujar Ano.

"Ayahmu nakal sih," ujar Martin.

Ano menatap wajah sang ayah sejenak. "Ayah tidak nakal kok. Ano yang nakal, jadi Ano saja yang dipukul sama ikat pinggang kakek," sahut Ano polos.

"Eh?!" kaget Martin.

Baru kali ini ada anak kecil yang sukarela dihukum untuk membela orang lain. Martin juga sedikit shock akan jawaban Ano yang terlihat santai saat mengatakan hal tersebut.

"Panti asuhanmu dulu melakukan apa saja?" tanya Martin.

"Daddy!" peringat Theo.

Theo membawa pergi Ano terhadap hadapan Martin. Dia tidak mau Ano membuka luka lama yang sangat menyakitkan. Sekarang ia juga telah memproses, beberapa oknum dari panti asuhan yang dulu Ano tempati. Ia tidak akan segan bertindak tegas demi sang putra tercinta.

Tentang anak panti dia pindahkan ke panti asuhan lain dibawah pengawasannya. Ia juga berpesan kepada anak buah yang dia tunjuk untuk berpesan bahwa anak panti pindah dikarenakan permintaan Ano.

Panti asuhan Ano dulu cukup memprihatikan. Jadi Theo berpikir untuk membiarkan anak-anak panti memiliki kehidupan panti yang lebih baik.

Langkah Theo membawa dia menuju ke kolam renang belakang rumah. Ano akan meloncat ditahan oleh Theo. Tingkah Ano sangat aktif sekali, lengah sedikit Theo akan mendapati Ano terbentur sesuatu.

"Bahaya nak," nasihat Theo.

"Ano mau belajar berenang!" rengek Ano.

"Boleh saja. Nanti ayah pegangin Ano agar bisa belajar secara perlahan," ujar Theo.

"Asyik!" pekik Ano senang.

Theo telah paham bahwa Ano merupakan seorang anak yang sangat antuasis tentang hal baru. Makanya, ia akan sungguh-sungguh mempelajarinya hingga bisa.

Sang duda menurunkan tubuh Ano sedikit jauh dari kolam renang. "Kita belajar berenangnya 30 menit dulu. Soalnya kamu belum punya baju berenang. Ayah takut kamu demam terlalu lama bermain air," ujar Theo.

Sang anak menurut saja. Ano membiarkan sang ayah membuka bajunya. Tersisa celana dalam dan kaos dalaman saja. Theo juga membuka baju dan celana panjangnya. Sang pria masih menggunakan celana pendek.

Pertama Theo turun ke kolam renang. Cukup dalam yaitu 2 meter. Untuk ukuran Theo tidak terlalu dalam. Ano mendekat kearah ayahnya.

Dengan pelan dan sabar Theo mengajarkan sang putra berenang. Mereka asyik bermain hingga melupakan janji untuk bermain air tiga puluh menit saja.

"Hey kalian berdua! Sebentar lagi Ashar!" pekik Martha.

Theo mengangkat tubuh Ano untuk segera kembali ke daratan. Ayah dan anak itu mandi bersama kembali.

Selesai mandi mereka pergi ke masjid bersama Martin. Di perjalanan menuju masjid senandung kecil terdengar dari mulut kecil Ano.

Ano tengah menghafal 99 nama asmaul husna. Itu ajaran Theo dua minggu lalu. Ano berusaha menghafal dengan nyanyiannya yang terdengar seperti tidak jelas.

Tangan kecil Ano tetap dipegang erat oleh Theo. Nyanyian Ano tetap berlanjut hingga tiba di masjid. Benar saja baru tiba adzan telah dikumandangkan.

Salat berjalan lancar. Saat Ano menunggu ayahnya selesai salat sunnah ada yang membuat dia tertarik. Ada sosok pemuda memegang buku berwarna kuning.

"Kak itu buku apa?" tanya Ano polos.

"Ini kitab kuning yang kupelajari dari pondok pesantren," jawabnya sombong.

"Berarti kakak tahu banyak hal dong!" pekik Ano kagum.

"Tentu," ujarnya semakin sombong.

"Ano mau tanya sesuatu," ujar Ano.

"Tanya apa?" ujar sang pemuda.

"Alasan ikan tidak punya lidah apa?" tanya Ano.

Sang pemuda terdiam mendengar pertanyaan Ano. "Kak ayo jawab," ujar Ano.

"Nak ayo pulang!" ajak Theo.

"Sebentar Ano sedang bertanya dulu," ujar Ano.

"Kamu bertanya sama ayah saja. Pemuda ini masih tahap belajar," ujar Theo.

Mereka bertiga pulang begitu saja. Ano tetap menanyakan perkara ikan kepada Theo. Beda lagi dengan Martin yang tertawa akan wajah Theo.

Jarang sekali melihat sang putra nampak frustasi oleh orang lain. Mungkin seorang anak memang sangat berpengaruh besar bagi seseorang.

Di rumah Theo memilih berpura-pura jujur ia belum tahu jawabannya. Dia akan bertanya dulu kepada ahli agama agar tidak salah menjawab.

Jadi selama beberapa hari Theo ditanyakan hal yang sama oleh anaknya.

Senin pagi Ano telah siap dengan seragam sekolah rapih. Topi, dasi, dan jas dipakai rapih oleh Ano.

"Hasil laundry darimana, Theo?" tanya Martha.

"Tempat biasa mom," jawab Theo.

"Cucu mom semakin menggemaskan saja," ujar Martha mencubit pipi Ano.

"Nenek!" kesal Ano.

"Kamu sih kasih makan Ano sering sekali," ujar Martin.

"Aku tidak memberi batas untuk konsumsi makanan putraku. Lagipula kalau dibatasi kasihan putraku," ujar Theo.

Segala hal setiap bangun tidur telah disiapkan oleh Theo. Bahkan Theo sering sengaja terlambat ke kantor demi mengantar sang anak ke sekolah. Vian tidak bisa berbuat banyak dikarenakan ia anak buahnya.

Semua berjalan lancar hingga saat ini. Entah apakah ada badai menerja untuk memisahkan antara ayah dan anak ini.

Atau mungkin kedua orangtua kandung Ano muncul ke permukaan demi merebut Ano kembali dari tangan Theo.

Saat itu terjadi Ano akan memilih Theo atau kedua orangtuanya. Nantikan saja bagaimana kelanjutan kisah ini.

Maaf kalau sedikit pendek. Penulis lembur terus kerjanya jadi sedikit lelah juga menulis

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Selasa 10 September 2024

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang