Bel pulang berbunyi. Ano dengan semangat menggendong tas ranselnya. Anak kecil itu bersemangat sekali untuk bertemu sang ayah.
Namun harapan ia pupus seketika. Ternyata di depan kelas hanya ada Vian sang asisten ayahnya. Wajah Ano seketika berubah menjadi kesal.
Vian terkekeh geli melihat perubahan wajah Ano. Ia berjongkok di hadapan sang tuan muda. "Bos sedang sibuk bertemu klien. Jadi daripada tuan muda menunggu, lebih baik om saja yang jemput," ujar Vian kepada Ano.
Ano tidak mendengarkan ucapan Vian sama sekali. Kaki kecil Ano berjalan cepat meninggalkan Vian begitu saja.
Di sepanjang perjalanan menuju kantor tidak ada suara dari Ano sama sekali. Tiba di kantor milik Theo, semua karyawan telah tahu bahwa Ano merupakan pewaris tunggal bagi perusahaan bos mereka.
Vian membiarkan saja bagaimana tingkah Ano. Ia paham, bahwa Ano sedikit marah terhadap Theo saat ini.
Di depan ruangan Theo. Baru saja Vian membuka pintu ada sosok wanita asing disana. Ano menaruh tas sekolahnya di tempat yang telah tersedia.
"Om pergi saja," ujar Ano.
Vian sedikit khawatir, tapi ia menurut saja akan ucapan Ano. Walaupun dirinya tetap mengawasi Ano.
"Tante badut ya?" tanya Ano kepada sang wanita itu.
"Ucapanmu sangat kurang ajar bocah!" kesal sang wanita kepada Ano.
"Itu bibir tante merah sekali dan pake tepung banyak sekali," komentar Ano.
Baru saja wanita itu akan mendekat ada sosok tinggi Theo menghalangi. "Untuk apa kau mendekati putraku?" tanya Theo datar.
"Ucapan putramu tidak beretika pak," ujar sang wanita.
"Nak!" panggil Theo.
"Ano cuma bilang tante kayak badut saja kok," jawab Ano jujur.
"Lagipula kita bertemu untuk membahas kerjasama. Dirimu pasti mengharapkan hal lain dariku," ujar Theo sarkas.
"Ayah kerjanya sudah selesai belum?" tanya Ano menarik celana kantor ayahnya.
"Ayo kita pulang!" ajak Theo.
Tangan sang wanita memeluk lengan Theo. Dengan cepat dilepaskan oleh Theo. "Ingat kita bukan siapa-siapa!" peringat Theo.
"Kau lupa bahwa kita pernah menjalin kisah cinta yang amat panas," ujar sang wanita.
"Itu masa lalu," sahut Theo.
Theo menggendong sang anak untuk pergi dari sana. Ia malas berdebat dengan seorang wanita. Di lorong kantor senyuman manis Ano tidak dapat dibalas oleh para karyawan. Dikarenakan Theo menatap mereka sangat tajam.
Di dalam mobil Theo langsung mencium kedua pipi sang anak. "Ayah ada sedikit rapat tadi. Jadi tidak bisa menjemput kamu. Maafkan ayah ya," ujar Theo kepada sang anak.
"Tidak masalah kok," sahut Ano.
"Sekolahmu hari ini bagaimana, nak?" tanya Theo.
"Menyenangkan. Teman Ano bercerita banyak hal mengenai ibu mereka."
"Mereka bilang ibu itu cerewet, dan sering marahin mereka. Padahal ayah juga sama, bahkan Ano pernah dijewer pas tidur karena tidak mau salat subuh," ucap Ano.
"Itu kewajiban tahu. Kamu sudah sunat apalagi," ujar Theo.
"Ayah kalau jewer tidak kira-kira sakitnya," gerutu Ano.
"Okey maafkan ayah," ujar Theo.
"Tante tadi habis menghibur siapa ayah?" tanya Ano kepada sang ayah.
"Menghibur?" beo Theo.
"Penampilannya kayak badut, yang pernah tampil di acara ulang tahun temanku," ungkap Ano jujur.
Vian tertawa mendengar ucapan jujur Ano. Anak sekecil Ano memang jarang berbohong, ia akan mengatakan apapun yang dirinya lihat. Ditambah Theo bilang Ano perlu berkata yang sejujurnya tidak boleh berbohong.
"Dia rekan kerja ayah," ujar Theo.
"Tante di depan pintu masuk saja. Tidak seperti itu, ia baik sekali. Bahkan terlihat cantik lho," ujar Ano.
"Vian kau ajarkan apa putraku?!" tegur Theo.
"Memberitahu tentang wanita baik dan tidak baik saja," sahut Vian santai.
"Lain kali. Lupakan ucapan Vian. Ia sedikit sesat," nasihat Theo.
"Ayah besok buatkan bekal lagi ya," ujar Ano.
Theo tersenyum akan ucapan anaknya. Pagi sekali setelah salat subuh. Theo dengan cekatan membuatkan bekal untuk Ano. Ia sendiri yang turun langsung untuk itu semua. Bahkan para asisten rumah tangga sedikit terkejut.
Theo melakukan segala hal terbaik untuk Ano. Ia berharap Ano menyukai bekal yang telah ia siapkan untuk sang putra.
"Enak masakan ayah?" tanya Theo.
"Banget!" pekik Ano.
"Besok mau dibuatkan bekal apa?" tanya Theo.
"Kelinci!" pekik Ano.
"Okey," sahut Theo.
Ano duduk di pangkuan sang ayah. "Ayah bantuin lepasin dong," ujar Ano.
Theo membantu sang anak untuk melepaskan blazer Ano. Jas sekolah Ano telah ia masukkan ke dalam tas. Ano pasti telah melepaskannya setelah masuk ke dalam kelas.
Sekolah yang didaftarkan Theo untuk sang anak Ano memang termasuk sekolah internasional. Jadi jangan heran setiap hari Ano perlu memakai jas dan blazer berbeda. Cukup merepotkan memang. Namun fasilitas yang diberikan sangat membantu bagi Theo.
"Kata guru agama bahwa bentakan ayah merupakan bentuk kasih sayang padaku," ujar Ano.
"Benar nak," sahut Theo.
"Aku senang ayah sayang padaku," ujar Ano.
"Ano berminat dalam bidang apa?" tanya Theo kepada anaknya.
"Belum tahu. Ano saja baru kenal lingkungan sekolah," jawab Ano.
"Apabila tertarik kepada sesuatu beritahu ayah," ujar Theo kepada Ano.
"Tentu ayah!" pekik Ano.
"Mau makan malam apa hari ini?" tanya Theo.
"Kita buat ayam geprek saja. Ano penasaran dengan rasanya," ujar Ano.
"Oh itu. Baiklah ayah tahu resepnya," ujar Theo.
"Kita beli bahan-bahannya yuk!" ajak Ano.
"Boleh nak," sahut Theo.
Ano tersenyum senang. Waktu ia bersama Theo sangat banyak. Entah sering membantu Theo memasak, ataupun melihat bagaimana Theo menggunakan mesin cuci.
Theo juga menasihati Ano agar merapihkan tempat tidur setelah bangun tidur. Ano menurut saja akan ucapan sang ayah.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Selasa 13 Agustus 2024
Maaf pendek sekali. Penulis sedang tidak baik-baik saja. Jadi konsentrasi menulisnya sedikit berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Ano
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Sejak dia bayi hingga berusia sepuluh tahun. Tidak ada sosok kedua orangtua mendampingi hidupnya. Seringkali dia dihina anak haram. Suatu hari seorang pria memberi dia sebuah a...