Setiap senin hingga jumat Ano akan bersekolah. Dari pagi sampai sore adalah kegiatan Ano untuk belajar di sekolah. Ia tidak mengeluh akan itu semua. Dirinya malah senang dikarenakan belajar lebih lama. Di rumah Theo hanya mengizinkan Ano untuk belajar selama satu jam saja tidak boleh lebih. Makanya Ano sedikit kurang suka akan peraturan Theo.
Bel pulang merupakan hal yang dinantikan sebagai murid sekolah. Beda lagi dengan Ano yang tidak suka. Baru saja keluar dari kelas suara Adzan Ashar menghentikan Ano untuk membereskan peralatan sekolahnya. Guru yang memperhatikan tindakan Ano tersenyum.
Sejak awal bersekolah Ano memang menarik perhatian para guru. Dia anak yang sangat sopan dan sangat baik. Adzan selesai Ano melanjutkan membereskan peralatan sekolah.
Ketika membuka pintu kelas ada sosok Vian menunggu. "Maaf om menunggu," ujar Ano.
"Tidak masalah. Tuan muda ingin salat dulu?" tanya Vian.
"Iya. Takut ketinggalan kalau ditunda terus," jawab Ano.
Vian tersenyum akan jawaban Ano. Anak kecil itu memang sangat taat tentang peraturan agama. Ditambah Theo cukup keras tentang salat terhadap anak tunggalnya.
Mereka berdua berjalan menuju musholla yang telah tersedia di sekolah. Vian juga ikut salat bersama Ano. Dia menjadi Imam bagi Ano walaupun sebenarnya ia sedikit malu.
Selesai salat mereka menuju parkiran untuk segera pulang. Ano di kursi belakang mengambil ponsel yang diberikan ayahnya di tas sekolahnya. Sekolah mengizinkan para siswa untuk membawa ponsel asal digunakan saat jam istirahat saja. Saat pelajaran dimulai ponsel akan disita dan dikembalikan saat jam pulang sekolah.
Ano menghubungi sang ayah. Ia sedikit heran mendengar suara asing. Tak lama sambungan telepon terputus begitu saja.
"Om kok yang menjawab telepon bukan ayah sih?" heran Ano.
"Kurasa ayahmu digodain sama tante-tante lagi," jawab Vian.
"Ano akan menghalanginya," ujar Ano.
"Kau benar-benar tidak mau punya ibu?" tanya Vian.
"Sosok ayah sudah cukup kok. Ano tidak boleh serakah," jawab Ano.
Vian tersenyum. Perjalanan menjadi hening. Ano yang sibuk mencoret buku gambar entah menuliskan apa. Vian yang memperhatikan saja tindakan sang tuan muda.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di kantor milik Theo. Baru saja Vian membuka pintu ruangan Theo. Wajah Vian sedikit kaget akan kehadiran kedua orang paruh baya berbeda gender di depannya.
Ano juga sedikit heran melihat wajah sang ayah yang nampak kesal terhadap mereka berdua. Anak kecil itu menaruh tas di tempat yang telah disediakan dan langsung memeluk kaki ayahnya.
Seorang anak kecil memeluk kaki Theo mengkagetkan kedua orang paruh baya itu. "Dia siapa Theo?" tanya sang pria paruh baya.
Sang wanita paruh baya nampak tertarik akan anak kecil yang memeluk kaki Theo.
"Ayah!" panggil Ano.
Theo mengangkat tubuh Ano untuk duduk di pangkuannya. "Mereka berdua adalah kakek dan nenekmu. Orangtua kandung ayah," ujar Theo.
"Halo. Namaku Garvin Reviano Marvin!" sapa Ano.
"Putramu lucu sekali Theo. Beda sekali denganmu yang selalu berwajah muram," komentar sang pria tua.
Wanita tua memukul bahu sang pria. "Theo putramu sayang. Kamu mengatakan hal tidak baik di hadapan cucu kita," ujar sang wanita.
"Kenalkan nama kakek Martin Garvin. Kakek seperti ayahmu seorang mualaf," ujar Martin.
"Hay cucu manis nenek. Nama nenek Martha Jovana. Nenek juga mualaf," ujar Martha.
Ano mendongkak menatap wajah sang ayah. "Ayah memang sudah lama tidak berkunjung ke rumah kakek dan nenek. Jadi mungkin mereka merindukan ayah disini. Ayah juga tidak tahu bahwa mereka tiba hari ini," ujar Theo menjelaskan kepada sang putra.
"Tumben ucapanmu sepanjang kereta. Biasanya tidak lebih dari tiga kata saja," sindir Martin.
"Sini sama nenek," ujar Martha.
Ano tidak mau. Ia memeluk tubuh sang ayah sangat erat. Mungkin Ano masih memiliki rasa trauma tentang seorang wanita.
"Maaf mom. Putraku memang sedikit kurang suka berdekatan dengan wanita. Aku tengah mengobati trauma putraku juga," ujar Theo.
"Ayah!" rengek Ano.
Theo mencium puncak kepala sang anak. "Kita ganti baju dulu. Ano tidur dulu sebentar. Ayah akan bangunkan saat mendekati salat Magrib ya. Ayah ada sedikit urusan bersama kakek dan nenek," ujar Theo.
"Bobo sama ayah!" rengek Ano.
"Baiklah," ujar Theo mengalah.
Pria itu menggendong Ano menuju ruangan dimana itu merupakan ruangan tambahan yang sengaja ia bangun untuk sang putra. Tanpa ia ketahui bahwa kedua orangtuanya tengah memperhatikannya. Mereka berdua tersenyum melihat sang putra kembali bahagia.
Saat kematian sang istri sosok Theo pergi tanpa kabar membuat mereka mengkhawatirkan keadaan Theo. Saat ada kabar bahwa sang putra mengangkat seorang anak. Itu hal yang membuat mereka sangat penasaran. Mereka rela terbang dari Spanyol menuju Indonesia demi melihat itu semua.
Ano menepuk pipi kanan ayahnya. Mata Ano perlahan menutup karena merasakan perasaan nyaman dipeluk ayahnya. Ano suka sekali mendapatkan kasih sayang. Makanya, ia tidak mau membagi ayahnya terhadap siapapun.
Theo mencium kening sang putra. "Anak ayah tidur ternyata," ujar Theo.
"Anak siapa yang kau culik?" tanya Martin.
"Ano putraku," jawab Theo.
"Mengapa putramu mengalami trauma mengenai wanita?" tanya Martha.
"Panti asuhan," jawab Theo.
"Menyebalkan sekali berbicara denganmu! Sifatmu benar-benar mirip seperti buyutmu itu!" kesal Martin.
Theo tidak peduli sama sekali. Sang pria malah mengangkat sang putra yang telah tertidur. Ia menunjukan bekas luka di perut Ano yang mulai memudar.
"Kau menyiksanya?" tanya Martin.
"Perbuatan panti asuhan," jawab Theo.
"Anak sekecil itu mendapatkan perlakuan tidak manusiawi," ujar Martha merasa kasihan akan nasib Ano.
"Garvin Reviano Marvin adalah putraku. Aku tengah mengurus tentang mereka yang menyakiti putraku," ujar Theo.
"Nama panggilan putramu siapa?" tanya Martin.
"Ano," jawab Theo.
"Kau tidak mau menikah lagi, Theo?" tanya Martha.
"Tidak," jawab Theo.
Martin memperhatikan tingkah laku Ano. Ia terkekeh geli melihat bagaimana Ano membuka mulutnya ketika tidur. Bahkan Ano memasukkan jempolnya ke mulut. Theo mencegah tindakan Ano. Pria itu malah menggantinya dengan empeng yang baru saja ia beli kemarin.
Martha gemas sekali akan pose tidur Ano. Ayolah pipi Ano menempel di dada bidang Theo. Apalagi mulut Ano tidak berhenti mengemut empeng.
"Kau cari putra baru saja. Daddy akan membawa Ano ke Spanyol," ujar Martin.
Martin akan mengambil Ano dari Theo dengan segera menepis tangan sang ayah. "Ano adalah putraku. Daddy tidak berhak mengambilnya!" tegas Theo.
"Posesif sekali dirimu," komentar Martin.
"Kau juga sama sayang. Ketika Theo kecil, kau bahkan melarang orang lain menyentuhnya," ujar Martha.
"Oh iya aku lupa. Pantas saja Theo sangat posesif terhadap putranya," ujar Martin.
Sekarang tidak heran bagaimana sikap Theo darimana tentang cara dia mengawasi sang putra. Sifat itu diturunkan langsung oleh Martin terhadap Theo. Menurut pandangan mereka orang yang disayanginya tidak boleh disentuh oleh siapapun.
Jangan lupa tinggalkan vote, kritik, dan komentar agar penulis semakin bersemangat menulis.
Sampai jumpa
Senin 09 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Ano
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Sejak dia bayi hingga berusia sepuluh tahun. Tidak ada sosok kedua orangtua mendampingi hidupnya. Seringkali dia dihina anak haram. Suatu hari seorang pria memberi dia sebuah a...