Setelah membeli semua yang diperlukan Theo mengganti baju Ano. Sang anak nampak kaget juga akan tindakan tiba-tiba Theo.
Tak lupa Theo membaluri perut Ano dengan kayu putih. "Perut kamu lapar tidak, nak?" tanya Theo kepada sang anak.
"Tidak kok," jawab Ano.
Suara perut berbunyi membuat Ano memerah malu. Theo tidak tertawa dia mengelus rambut Ano. "Kita makan dulu setelah itu salat," ujar Theo.
"Kita salat dulu saja," ujar Ano.
"Dengar ya nak. Lebih baik mengisi perutmu terlebih dahulu sebelum melaksanakan panggilan salat," ujar Theo.
"Mengapa begitu ayah?" tanya Ano.
"Kita tidak boleh memikirkan hal lain saat melaksanakan salat. Agar bisa khusyuk menghadap sang pencipta," jawab Theo.
"Ayah kenapa memilih menjadi seorang islam," ujar Ano polos.
"Ayah koreksi ya. Ucapan kamu salah nak ayah bukan islam, tapi seorang muslim, dikarenakan dulu tidak memiliki agama yang diyakini sejak kecil," ungkap Theo kepada Ano.
"Kok bisa?" tanya Ano.
Theo memakaikan baju koko kepada Ano. Tak lupa mengganti celana yang digunakan oleh Ano. "Di negara asal ayah kita bebas dalam beragama. Bahkan kebanyakan teman papa menjalani hidup tanpa berpegang teguh terhadap agama," ujar Theo.
"Ayah dari negara apa?" tanya Ano.
"Spanyol. Dua tahun sebelum mengenal mendiang istri ayah, ada suatu hal yang menarik hati ayah mengenal Islam lebih jauh," ujar Theo.
"Apa itu?" tanya Ano.
"Suara Adzan. Lantunan ayat suci Al-Qur'an mengantarkan ayah mempelajari Islam sangat dalam. Ternyata semakin lama hati ayah tergerak untuk menjadi seorang mualaf," ujar Theo.
"Kata teman sekolahku cowok perlu dipotong burungnya," ujar Ano polos.
"Yah benar. Ayah berusia dua puluh tiga tahun ketika disunat. Memang tidak terasa apapun sih. Walaupun teman ayah banyak yang menertawakan itu," ujar Theo.
"Ano belum dipotong burungnya," ujar Ano.
"Kok belum?" tanya Theo.
"Kata mereka nanti saja," jawab Ano polos.
"Minggu depan dipotong ya burung Ano," ujar Theo.
"Kata teman Ano kalau burungnya dipotong bisa dapat sepeda baru," ungkap Ano polos.
"Kamu menginginkan sepeda, nak?" tanya Theo.
"Iya!" pekik Ano bersemangat.
"Ayah belikan setelah jahitan sunatmu kering," ujar Theo.
Ano mencium pipi kanan Theo. Tak lama bocah kecil itu menundukkan kepala, dan bersembunyi di dada bidang Theo.
"Lu curang banget Theo!" protes Vian.
"Tidak peduli," sahut Theo datar.
"Giliran di depan anak baik bener. Sama anak buah sendiri judes sekali," ujar Vian.
Tidak ada balasan sama sekali dari Theo. Pria itu malah mencium puncak kepala sang anak berulangkali padahal rambut Ano lumayan berantakan dan kotor.
Di restoran sosok kecil Ano diperhatikan sekitar. Ditambah baju koko yang digunakan lumayan sedikit kebesaran di tubuh Ano. Jadi Ano terlihat lucu berpenampilan seperti itu.
Pengunjung restoran mengetahui tentang Theo. Seorang pengusaha yang tidak suka akan suara berisik. Bahkan ada rumor mengatakan bahwa Theo pernah memukul seorang pria disebabkan terlalu berisik ketika berbicara dekat dirinya.
Tidak mau menarik perhatian Theo memesan menu untuk dia bawa pulang saja. Dia akan makan saat berada di mobil daripada berada di tempat keramaian.
Menunggu sekitar sepuluh menit pesanan Theo telah siap. Dia membayar menggunakan black card, dan mengambil kartu itu setelah menyelesaikan transaksi.
Di mobil Theo menyuapi Ano yang sangat lahap makan. Seolah Ano belum makan selama beberapa hari. Dia bahkan memberikan minum saat Ano tersedak akibat terburu-buru makan.
Sampah bekas makanan tetap disimpan oleh Theo hingga menemukan tempat sampah. "Laper sekali kamu, nak," ujar Theo.
"Ano belum makan tiga hari," jawab Ano polos.
"Hah?!" kaget Theo.
Ia tidak habis pikir tentang pemikiran tidak waras sang pengurus panti asuhan tempat dimana Ano dibesarkan. Mereka tega membiarkan anak sekecil Ano menahan lapar bahkan sampai tiga hari.
"Kata kakak panti Ano belum boleh makan, sebelum membawa uang yang banyak saat pulang," ujar Ano polos.
"Sebelum itu kamu jarang makan?" tanya Theo mencoba menahan amarah.
"Ano paling makan seminggu sekali. Itu juga memakai garam," sahut Ano polos.
"Lantas saat kamu tidak diberi makan bagaimana?" tanya Theo.
"Ano minum air yang banyak agar kenyang ayah. Itu cukup kok, asal Ano tetap bisa melihat hari esok," ujar Ano polos.
Ano tersenyum lebar mengatakan itu tanpa ada beban sama sekali. Berbeda dengan Theo yang semakin terpancing emosi. Pria itu memeluk tubuh kecil Ano sangat erat tak lupa mencium kedua pipi Ano.
Theo melepaskan pelukannya menatap wajah Ano dengan tatapan lembut. "Sekarang dan seterusnya andalkan ayah, ok. Ayah adalah garda terdepan untuk melindungi kamu dari segala macam bahaya," ujar Theo kepada sang anak.
"Kata kakak panti Ano anak haram makanya tidak layak untuk dikasih ayah," sahut Ano polos.
"Ano anak ayah Theodoro Marvin. Jadi tidak ada yang boleh berkata bahwa Ano anak haram lagi," ujar Theo.
"Ano seneng banget punya ayah!" pekik Ano.
"Ayah juga bahagia memiliki kamu," ujar Theo.
Perjalanan menuju masjid dihabiskan dengan celotehan riang Ano. Sosok anak kecil itu mudah sekali beradaptasi dengan lingkungan baru.
Di masjid Theo menuntun sang anak ke arah tempat berwudhu. Sosok ayah baru itu mengajarkan sang anak untuk melakukan tata cara berwudhu, dan bahkan tentang doanya.
Selesai berwudhu tak lupa Theo mengajarkan anaknya untuk berdoa setelah berwudhu.
Di dalam masjid Theo berada di depan, dan berkata kepada Ano agar mengikuti gerakan Theo. Dengan patuh Ano mengikuti apa yang dilakukan sang ayah.
Selesai salam Theo mengulurkan tangan kearah Ano membuat sang anak kebingungan. "Cium tangan ayah nak," ujar Theo.
Ano menurut untuk mencium tangan sang ayah. Theo menyuruh Ano untuk duduk di pangkuan dia. Dia mengajarkan doa selesai salat. Ano menatap wajah ayahnya yang serius membaca doa.
Hari ini merupakan hari yang sangat menyenangkan bagi Ano. Dia belajar banyak hal dari sang ayah.
Dulu Ano tidak bisa melakukan salat dikarenakan tidak ada satupun orang mau mengajarkan dia. Sekarang untuk pertama kali dalam hidup sosok bernama ayah mengajarkan itu untuk dia.
"Terimakasih, Ya Allah memberikan ayah terbaik di dunia," sambung Ano atas doa sang ayah.
Theo tersenyum mendengar ucapan sang anak. Selesai berdoa Theo menggendong tubuh sang anak. Mereka berdua keluar dari masjid tak lupa Theo mengajarkan tentang memberikan sedikit uang ke kotak amal.
Ano yang penasaran bertanya kepada Theo. Dijawab oleh sang ayah dengan bahasa yang mudah dipahami oleh Ano.
Suara tukang es krim menarik perhatian Ano. Anak itu tidak memanggil malah diam saja. "Mang es krim!" panggil Theo.
Ano mendongkak menatap wajah rupawan sang ayah. "Kita beli es krim sebelum pulang ke rumah," ujar Theo.
Tawa Ano menggema begitu saja. Anak itu seolah sangat senang mendapatkan suatu hal yang mustahil bagi dia dulu.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Senin 08 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Untuk Ano
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Sejak dia bayi hingga berusia sepuluh tahun. Tidak ada sosok kedua orangtua mendampingi hidupnya. Seringkali dia dihina anak haram. Suatu hari seorang pria memberi dia sebuah a...