17 (dua anak kecil)

566 47 4
                                    

Beberapa hari Ano tidak bersekolah. Ano kecil itu bersikeras mau menjaga sang ayah saat sakit. Sekarang ia telah masuk sekolah. Baru saja akan memasuki kelas ada seseorang yang menarik tangan Ano.

Seorang siswa yang bertubuh tinggi besar menatap menghindar.Ia bahkan menahan leher menggunakan tangan kirinya. "Kau berani sekali menyakiti adik sepupuku!" kesal sang remaja.

"Kakak sudah smp lho. Masa lawan anak sd sih tidak adil," jawab Ano.

Yah memang sekolah yang ditempati Ano memiliki beberapa tingkat jenjang pendidikan. Dari mulai TK, SD, dan SMP.

"Aku tidak peduli!" pekiknya.

Saat akan memukul wajah Ano tepat kearah hidung. Dengan gesit Ano menghindari dengan memiringkan kepalanya. Tangan tersebut mengenai dinding bahkan langsung membiru seketika.

"Argh sakit!" pekiknya.

Ano mendorong siswa yang lebih tua agar segera menyingkir. Tindakan ia membuat sang lawan semakin marah.

"Kak ini sekolah tempat untuk menuntut ilmu, bukan ajang untuk adu kekuatan," nasihat Ano.

"Banyak bacot lu!" kesalnya.

Wajah Ano tetap tenang. Sebuah pukulan akan mengenai wajahnya ditahan oleh tangan kecil Ano. "Kita berhenti berkelahi saja. Tidak baik menambah musuh, lebih seru kita berteman saja. Itu hal yang lebih bermanfaat," nasihat Ano.

Namun tetap saja ucapan bijak Ano tidak digubris oleh siswa berseragam putih biru tersebut. Setiap serangan di hindari oleh Ano. Sebisa mungkin ia tidak menyakiti orang lain. Karena ia menurut akan ucapan sang ayah untuk tidak menyakiti orang yang salah paham.

Di umur yang baru berusia sepuluh tahun Ano mengerti maksud sang ayah. Merasa lelah siswa itu akhirnya berhenti melayangkan pukulan kearah Ano. Nafas sang remaja nampak tidak baik-baik saja. Ano mengulurkan tangan berniat membantu ditepis oleh sang remaja.

Ia berlari dari hadapan Ano merasa dipermalukan oleh anak kecil yang lebih muda darinya. Ano tidak peduli ia memilih masuk ke dalam. Baru saja, akan duduk Fathan melirik kearahnya.

Ano tidak paham akan lirikan mata Fathan terhadapnya. "Aku tidak mengerti maksudmu," ujar Ano.

"Hebat banget bisa mengalahkan seorang pembully di sekolah ini," puji Fathan.

"Dia pembully?" tanya Ano memastikan.

"Ia dia sering malak uang jajan siswa lain di lorong kelas yang sepi, dan apabila diberi uang akan menghajar siswa tersebut. Seringkali, dia juga akan merundung siswa yang terlihat lemah di matanya. Aku juga pernah dipalak sama dia," jawab Fathan.

"Kenapa tidak lapor guru?" tanya Ano.

"Dia merupakan salah satu siswa terkaya di sekolah ini," jawab Fathan.

"Orang sombong aku tidak suka," sahut Ano.

"Bener aku juga tidak suka! Untungnya kamu tidak sombong, walaupun kaya raya," ujar Fathan.

"Yang kaya itu ayahku bukan aku," sahut Ano.

"Tetap saja kamu tetap kaya," ujar Fathan.

"Minggu ini main ke rumahku yuk!" ajak Ano.

"Aku tidak enak hati tentang ayahmu," ujar Fathan menggaruk belakang kepalanya.

"Aku akan bilang sama ayah setelah pulang sekolah hari ini," ujar Ano.

Fathan menatap wajah Ano membuat Ano sedikit risih. "Ada apa sih lihatin aku?" tanya Ano tidak nyaman.

"Kamu bilang usiamu sepuluh tahun, tapi kamu kok wajahmu terlihat seperti berumur delapan tahun sih," heran Fathan.

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang