14 (melawan pembully)

584 53 2
                                    

Sekolah bertaraf Internasional tidak menjamin semua siswa mendapatkan hak yang sama. Ada saja kalangan siswa yang merasa memiliki kekuasaan melakukan tindakan perundungan terhadap siswa beasiswa.

Seperti sekarang ada sekumpulan siswa merundung siswa lemah. Bahkan dari segi fisik berbeda jauh. Siswa yang menjadi korban perundung nampak sangat kecil dibandingkan mereka.

Sang korban nampak tidak baik kondisinya. Seragam sekolah yang sudah kotor bahkan rambut dia basah kuyup.

Salah satu siswa bertubuh besar mendekati korban bahkan kembali menendang perut sang siswa. Tidak ada perlawanan karena ia merupakan siswa beasiswa saja. Dia tidak mau beasiswa dia terancam dicabut.

"Kalian pengecut," ujar seorang siswa.

Ucapan seseorang membuat mereka sedikit tegang. Saat melihat lawan bicara membuat mereka tertawa. Ayolah dari segi apapun mereka akan mudah mengalahkan siswa di depan mereka.

"Kau hanya siswa baru saja," ujar sang siswa bertubuh besar.

"Aku Garvin Reviano Marvin. Diriku memang siswa baru, namun tidak suka akan tindakan kalian," ujar Ano.

"Jangan ikut campur!" pekik siswa bertubuh besar.

"Namamu keren Erick Wibowo. Tapi sifatmu tidak bagus," ujar Ano.

Siswa tersebut terpancing akan ucapan Ano. Sebuah pukulan mendarat di wajah Ano. Benar saja, hidung Ano mimisan.

Ano membalas pukulan Erick. Akhirnya mereka berdua terlibat perkelahian. Dua siswa yang lain berlari dari sana untuk melaporkan kepada guru.

Siswa yang menjadi korban perundungan menatap kearah Ano. Beberapa menit kemudian, akhirnya Ano berhasil mengalahkan Erick.

Erick berlari menjauh dari hadapan Ano. Ano tidak peduli, ia menghampiri siswa yang sejak tadi diam.

"Hay namaku Garvin Reviano Marvin. Aku biasa dipanggil Ano. Nama kamu siapa?" tanya Ano kepada siswa tersebut.

"Na-namaku Dilfa Barqi Abbasy," ujar sang siswa.

"Kamu kelas berapa?" tanya Ano.

"Kelas empat," jawab Dilfa.

"Eh kamu kakak kelasku?!" kaget Ano.

"Memang kamu kelas tiga?" tanya Dilfa.

"Iya umurku sepuluh tahun. Cuma aku terlambat sekolah," jawab Ano.

"Berarti kita seumuran," ujar Dilfa.

"Begitu ya," ujar Ano.

Ano membantu Dilfa berdiri. Ia juga tidak keberatan akan bau amis yang menyengat. Dia terbiasa akan semua bau itu sejak dulu.

Bahkan Ano merangkul pundak Dilfa. Kedekatan Ano bersama siswa beasiswa ditatap sinis oleh semua siswa.

Ano membantu Dilfa membersihkan diri. Setelah selesai Ano membelikan satu set seragam untuk Dilfa. Awalnya, Dilfa menolak tapi Ano memaksanya. Dengan itu Dilfa menggunakan seragam yang diberi oleh Ano.

Baru saja Ano akan kembali ke kelas. Ada suara panggilan dari ruangan konseling. Dilfa juga ikut ia merasa bahwa ini semua disebabkan olehnya.

Dengan langkah santai Ano menuju ruangan konseling. Dilfa sedikit heran akan wajah tenang Ano. Tiba di depan ruangan konseling. Ano membuka pintu disana ada sepasang suami istri menatap tajam Ano.

"Jadi anak ini yang menghajar putra tersayangku!" kesal sang ibu.

"Maaf aku lupa mengucapkan salam. Assalamualaikum warahmatullahi wabakatu. Aku memang menghajar putramu nyonya. Aku mengaku salah atas semua itu," ujar Ano sopan.

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang