20 (pria serem)

508 43 2
                                    

Suara detingan detik jam merupakan hal yang membuat sosok anak kecill mengantuk. Ia tengah berada di ruangan pribadi sang ayah. Dia sebenarnya tadi bermain balok susun, cuma dikarenakan bosan memilih memperhatikan jam saja.

Ano melepaskan kaos yang dia gunakan. Terlihat tubuh Ano mulai terisi. Ada lemak di perut Ano yang cukup membuat sang pria dewasa tersenyum senang. Bekas luka Ano mulai tidak terlihat jelas itu berkat sang ayah Theo.

"Ayah!" panggil Ano.

Theo berhenti mengetik mendengar sang anak memanggil. "Iya nak," sahut Theo.

"Kita bermain sepakbola yuk!" ajak Ano.

Pria berstatus duda itu membuka kemeja yang ia gunakan. Nampak jelas ada abs tercetak jelas di perut Theo.

"Kok perut ayah berbeda dengan aku,sih?" tanya Ano menunjuk perut Theo.

Theo berjongkok di depan sang putra. "Kamu akan seperti ayah suatu hari nanti. Sekarang Ano fokus memperbaiki gizi saja," ujar Theo.

"Aku lihat kakek dan nenek sangat tidak mirip dengan ayah," ujar Ano polos.

"Mereka memang bukan orangtua kandung ayah," jawab Theo.

"Seperti aku dan ayah?" tanya Ano.

"Begitulah. Ayah mengenal kasih sayang dari kakek dan nenek," jawab Theo.

"Orangtua ayah memang kemana?" tanya Ano.

"Mereka membuang ayah ke panti asuhan saat ayah berusia tujuh tahun. Kehadiran ayah sejak awal memang telah dibenci semua orang. Mulai saat itu ayah tidak percaya terhadap adanya sang pencipta," ujar Theo.

"Tapi ayah sekarang seorang muslim," ujar Ano.

Theo mencium kening sang putra. "Ayah mengenal Islam merupakan hal yang tidak sengaja. Waktu itu ayah berada di titik terendah dalam hidup. Suara Adzan menuntun langkah kaki ayah menuju masjid. Saat ayah akan membuka pintu ditahan oleh seorang pria dewasa," ujar Theo.

"Dia siapa ayah?" tanya Ano penasaran.

Theo mengangkat tubuh sang putra untuk dia gendong. "Ayah aku mau duduk dibawah saja!" rengek Ano.

Ia mengalah dan duduk di lantai. "Pria dewasa itu adalah kakekmu. Ayah dulu tidak mengerti kenapa dilarang masuk ke dalam masjid. Kakek berkata bahwa masuk ke masjid harus bersih. Ayah diarahkan untuk berwudhu dan menggunakan sarung oleh kakek," ujar Theo.

"Disana ayah mau masuk islam?" tanya Ano.

"Belum. Ayah hanya mengikuti saja saat semua orang salat. Ayah sangat kebingungan jadi berusaha ikuti saja. Selesai salat baru ayah berterus terang bahwa bukan muslim," ujar Theo.

"Terus kapan ayah menjadi mualaf?" tanya Ano.

"Umur 19 tahun. Ayah merasa bahwa saat pertama kali salat ada hal aneh yang membuat hati papa sangat tenang sekali. Jadi ayah sering rutin berkunjung ke masjid. Dan disana awal mula dimana ayah dekat dengan kakek. Kakek bercerita bahwa kehilangan putranya seumuran ayah dikarenakan ditabrak orang tidak bertanggung jawab," ujar Theo.

"Terus kenapa ayah bilang kakek dan nenek orangtua kandung ayah?" tanya Ano.

"Ayah sudah mengganggap mereka begitu. Lagipula, kedua orang tua kandung ayah tidak pernah bertemu kembali sejak membuang ayah," jawab Theo.

Ano memeluk tubuh sang ayah sangat erat. "Ano bangga punya ayah. Ano akan sekuat ayah menghadapi dunia ini," ujar Ano.

"Kapan bermain bolanya?" tanya Theo kepada sang putra.

"Sekarang!" pekik Ano.

Ano berdiri dari pangkuan sang ayah. Anak kecil itu menarik kedua tangan Theo untuk segera berdiri. Dengan sedikit berlari Ano menarik tangan besar Theo ke halaman belakang rumah.

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang