10 (sekolah)

685 69 125
                                    

Sejak satu minggu lalu, Ano merengek ingin bersekolah. Lihat saja sekarang, dimana Ano tersenyum lebar menatap seragam sekolahnya. Sebenarnya, Theo tidak mengizinkan Ano untuk bersekolah dulu.

Dengan segala jurus jitu diperbolehkan oleh Theo. Di depan kamar, ada Theo menatap diam anaknya.

Ia tidak membantu Ano sama sekali. Ano berkata bisa melakukannya sendiri. Tapi saat memasang dasi sedikit kesulitan.

Theo menghampiri sang anak. Lantas ia memasangkan dengan benar dasinya. "Begini nak. Lain kali minta bantuan ayah saja," ujar Theo kepada Ano.

"Siap ayah!" pekik Ano.

Pose hormat Ano mengundang tawa sang ayah. "Menurut data terakhirmu sekolah. Kamu sekarang kelas tiga sd," ujar Theo.

"Iya. Ano telat sekolah," jawab Ano.

Theo mencium pipi berisi Ano. "Tidak apa-apa. Walaupun terlambat, kamu tetap sekolah," ujar Theo.

"Ayah antar aku ke sekolah, kan?" tanya Ano antuasis.

"Tentu saja," sahut Theo.

"Yeah! Ano diantar sama ayah ke sekolah!" pekik Ano senang.

Ano meloncat karena kegirangan. Theo memperhatikan saja. Ia berdiri, untuk memasukkan beberapa buku tulis ke dalam tas sekolah anaknya. Theo membelikan tas sekolah seperti sebuah koper. Dia hanya tidak mau, sang anak keberatan membawa tas.

Jadi pilihan, ia jatuh kepada tas koper. Tas yang bisa ditarik, seperti sebuah koper oleh sang anak tanpa perlu digendong di punggung.

"Ano ingat nasihat ayah apa?" tanya Theo berjongkok di depan anaknya.

Ano berhenti meloncat. Anak itu menghampiri ayahnya. "Jangan mau diajak pulang, kecuali sama ayah atau om Vian," jawab Ano.

"Kalau Ano ditarik tangannya oleh orang asing, bagaimana?" tanya Theo.

"Digigit tangan orangnya!" pekik Ano.

"Terus kalau Ano digendong?" tanya Theo.

"Teriak tolong, dan bilang aku diculik!" pekik Ano.

"Orang lain tidak boleh memegang Ano bagian mana saja?" tanya Theo.

"Di pantat, di burung, di dada, di kedua pipiku, dan bibir Ano!" pekik Ano.

"Apabila ada orang yang megang salah satu bagian itu, kamu harus melakukan apa?" tanya Theo.

"Ano tonjok!" pekik Ano.

"Kerja bagus nak," puji Theo.

"Iya dong! Ano kan anak ayah yang paling ganteng!" pekik Ano.

"Ya sudah! Ayo berangkat sekolah!" ajak Theo.

Mereka berdua telah sarapan sebelumnya. Bahkan Theo menyiapkan bekal untuk sang anak. Ia tidak mau Ano jajan sembarangan.

Di dalam mobil Ano dengan semangat berkata bahwa ia suka bersekolah. Maklum dulu, Ano merupakan salah satu siswa beprestasi. Jadi, jangan heran apabila ia menyukai pelajaran.

"Cari teman okey," nasihat Theo.

"Dulu Ano tidak punya teman ayah," ujar Ano.

"Sekarang pasti ada yang mau berteman sama Ano kok," ujar Theo mengelus rambut Ano.

Ano membalikkan tubuhnya memeluk tubuh Theo. "Teman Ano sekarang ayah saja," gumam Ano.

"Iya tidak masalah kok," ujar Theo.

"Lu pilih sekolah gak kira-kira deh," komentar Vian.

"Berisiklah!" kesal Theo.

"Ngeselin lu sumpah!" pekik Vian.

Ayah Untuk AnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang