𝙿𝚒𝚝𝚞𝚕𝚊𝚜 - 𝟷𝟽

15 11 5
                                    

Ada hal paling menyenangkan dalam hidup Danastri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada hal paling menyenangkan dalam hidup Danastri. Yang pertama, adalah rasa sepi. Dan kedua, adalah kasih sayang Nenek. Selain itu, tidak ada lagi.

Terdengar simpel? Tentu saja. Yang ruwet adalah pikiran Danastri sendiri.

Di saat semua orang berurusan dengan masalah orang lain, Danastri justru berurusan dengan masalahnya sendiri. Yang mana, masalah tersebut belum ia ketahui secara gamblang dari mana asal-usulnya.

"Hari ini sekolahnya gimana, Nduk?"

Rumah Nenek terbilang luas daripada rumah-rumah milik tetangga. Meskipun dari tatanan bangunannya sangat kuno, tapi tidak membuat rumah Nenek dikatakan jadul. Rumah Nenek sangat asri, apalagi dikelilingi tanaman hijau melingkar dengan rimbun.

Kata Nenek, Kakek sangat menyukai semua tanaman dan bunga-bunga. Kakek adalah pecinta alam juga pecinta kebersihan. Setiap saat, setiap waktu, pasti Kakek yang selalu membersihkan halaman rumah itu. Yang mendesain tempat karangan bunga juga Kakek sendiri. Semua Nenek ceritakan.

"Ya begitu, Nek. Nggak ada yang istimewa di sana," jawab Danastri lesu. Memikirkan hari-hari yang penuh tekanan membuat dirinya merasa malas. Andai saja ia memiliki keberanian lebih untuk menjadi anak nakal, pasti ia akan membolos sekolah dan pergi entah ke mana. Yang terpenting, tidak bertemu Alvido dan Veli Hatari.

"Loh kok ngono?" Nenek tersenyum hangat. "Sekolah 'kan tempat menuntut ilmu, Astri. Masa iya Astri nggak senang di sana?"

Danastri tersenyum kecut. Tentu jika di dunia ini selalu ada konsekuensi atas apa yang terjadi meskipun hal sekecil apapun. Di sekolah memang tempat paling bagus, selain rumah Nenek. Danastri bisa banyak mengais ilmu, banyak tanya jika ada yang belum dipahami, mengerjakan tugas lalu berakhir mendapatkan nilai terbaik. Danastri lakukan itu semua semata-mata untuk menjadi kebanggaan Ibu dan Bapak. Padahal, sama sekali keduanya tidak pernah sesuai ekspetasi Danastri.

Ya, berakhir menelan kekecewaan.

"Nggak semua tempat menuntut ilmu menyenangkan, Nek. Dari kata 'menuntut' aja udah berarti dituntut untuk ini dan itu." Danastri menghela napas lelah. "Belum lagi orang-orang yang ada di dalam sana. Beda orang, beda sifat. Kalau nggak asik, ya nggak diajak main."

Banyak manusia yang bilang, jika sekolah adalah tempat menyenangkan. Bisa mendapatkan ilmu sekaligus mendapatkan teman. Bermain sekaligus belajar. Tentu sangat menyenangkan jika hidup penuh keberuntungan. Beda dengan Danastri yang ingin sekali menyangkal omong kosong tersebut.

Dikhianati teman sendiri, bahkan hampir satu kelas.

Disalahkan mem-bully Veli, padahal Danastri sendiri tidak pernah bermain dengan Veli.

Katanya pelit jika tidak memberikan contekan, padahal Danastri hanya ingin mempertahankan apa yang ia miliki.

Kejadian-kejadian buruk itu terus menyelimuti pikiran Danastri. Hingga pada batas habis, Danastri selalu merasa tidak adil dengan semua ini. Saat Mama dari Veli sepenuh hati datang untuk menegakkan kebenaran agar Veli tidak terkena ketidakadilan dalam berteman. Padahal yang sebenarnya, Veli tidak mengalami hal apapun selain menikmati Danastri menderita.

Hidup dalam dendam, dipenuhi dendam, terbayang-bayang dendam sangat tidak tenang. Kenyatannya begitu, tapi Danastri juga tidak terima atas apa yang menimpa dirinya. Apalagi jika ia tidak bersalah sama sekali. Ia ingin mengatakan pada Ibu, ada yang tidak menyukai kehadirannya di sekolah. Namun, Danastri kembali sadar. Ibu tidak pernah peduli dengannya.

"Astri padahal nggak punya salah sama mereka, tapi mereka selalu menyalahkan Astri."

Danastri tidak pernah melupakan hari itu. Di mana Mama Veli menyudutkan dirinya lalu memberikan banyak wejangan layaknya Ibu-ibu pada umumnya. Danastri diam saja, tidak berniat untuk angkat suara. Tau kenapa? Karena semuanya percuma. Danastri hanya dianggap sebelah mata, tidak terlihat.

"Kalau pinter, tapi kelakuannya nakal yo percuma. Kasihan otak pinter kamu dicemari sama hal-hal yang nggak baik. Kata Veli, si Astri ini udah sering nakal sama Veli. Dan baru sekarang saya datangi, karena sudah muak dengan laporan-laporan dari Veli."

Danastri takut? Tidak. Kenapa harus takut di saat dirinya tidak bersalah? Ia tidak takut jika ada guru bertindak mengeluarkan dirinya dari sekolah. Sejauh ini, banyak saksi yang melihat Danastri hanya diam, tidak membuat masalah sama seperti apa yang Mama Veli katakan. Sebetulnya, mereka semua juga tau jika Veli hanya mengada-ngada, tapi tidak ada yang berani menyinggung hal tersebut agar suasana tidak semakin runyam.

"Apa ada sesuatu yang mengganjal di hati Astri?" tanya Nenek. Setelah melihat gerak-gerik Danastri yang tampak sedih dan murung. Apa terjadi sesuatu yang buruk menimpa cucunya itu?

Otak Danastri langsung cemerlang. Menyuruh Danastri untuk mengadu apa yang ia alami akhir-akhir ini. Mengadu dan bercerita pada Nenek kedengarannya hal menyenangkan. Namun sekali lagi, masalahnya pada diri sendiri. Otak Danastri mengatakan iya tapi hatinya justru mengatakan tidak.

Apa ada yang lebih membingungkan selain memahami diri sendiri? Danastri sudah banyak melakukan banyak untuk membuat dirinya bahagia, tapi semuanya terasa sia-sia saja.

"Emm ...?" Mulut Danastri tertutup rapat. Antara ingin bercerita, tapi juga tidak ingin menceritakannya karena itu adalah masalah sepele saja.

Oh, rupanya Danastri perlu menertawakan kebodohan dirinya sendiri. Cerita sepele? HAHAHA. Rasanya Danastri ingin tertawa sepuas-puasnya karena menganggap masalah yang membuatnya murung itu adalah masalah sepele.

Dirasa Nenek bersedia ingin mendengarkan ceritanya itu, Danastri justru kebingungan. Ingin bercerita, tapi yang masalah apa? Nanti juga akan hilang sendiri jika masalah tersebut sudah tidak lama hadir. Iya 'kan? Tetapi ... Danastri juga ingin menceritakannya pada Nenek.

Danastri mendongakkan wajah sambil memejamkan mata, berharap masalah-masalah yang hinggap di kepalanya segera menghilang meskipun hanya satu saja. Tidak apa-apa, asalkan tidak lagi menyusahkan Danastri seperti sekarang. "Astri punya cerita banyak, Nek, tapi bingung mau cerita dari mana."

Tangan Nenek terulur mengelus rambut Danastri dengan lembut. "Sebanyak apa, Nduk? Kalau banyak Nenek juga nggak masalah dengerin Astri cerita. Udah lama juga Nenek nggak dengar Astri cerita kayak dulu. Maaf ya, Nenek selalu sibuk."

Danastri dengan cepat menyahut, "Nggak kok Nek, Nenek jangan minta maaf. Nenek kerja juga buat Astri yang masih suka ngerepotin Nenek. Seharusnya Astri yang minta maaf karena belum jadi cucu Nenek yang baik kayak Mas Zidan dan Zia."

"Jangan begitu, Nduk. Semua punya kelebihan masing-masing. Astri harus tetap jadi Astri, biarkan Mas Zidan ya jadi Mas Zidan. Astri dan Mas Zidan itu beda orang, berarti pintarnya juga beda, kelebihannya beda dan kelakuan pun juga beda. Apalagi berbeda orang tua, berbeda didikannya pula."

Danastri tersenyum tipis nyaris tak terlihat. "Iya, Nek."

Terkadang, Danastri ingin menjadi orang lain supaya disayang manusia lain. Tetapi, itu mustahil.

KAMUS DANASTRI:- Loh kok ngono ➡︎ Loh kok begitu? - Ruwet ➡︎ rumit- Jadul ➡︎ kuno

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAMUS DANASTRI:
- Loh kok ngono ➡︎ Loh kok begitu?
- Ruwet ➡︎ rumit
- Jadul ➡︎ kuno

UHUYYY DOUBLE UPDATE 💃🏻💃🏻

DANASTRI: Pedar KandarpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang