𝚃𝚎𝚕𝚞𝚕𝚒𝚔𝚞𝚛 - 𝟸𝟹

4 2 0
                                    

Danastri lahir di Bulan Desember

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Danastri lahir di Bulan Desember. Lebih tepatnya, dua hari sebelum hari Ibu tiba. Itu alasan pertama yang menjadi patokan ketika Danastri sendiri lupa. Alasan yang kedua, saat Desember tiba, pasti banyak bunga Desember yang bermekaran layaknya musim semi di negeri orang. Bunganya berbagai macam warna, tapi di taman sebelah rumah Nenek, bunganya warna merah cerah. Danastri tetap suka.

Hari ini juga, tepat Danastri berusia sebelas tahun, yang artinya sebentar lagi akan disibukkan dengan hari-hari penuh ujian dan tugas. Dinyatakan lulus atau tidak, Danastri yakin akan tetap lulus. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar cepat keluar dari penjara neraka tersebut.

Di Sekolah Dasar, Danastri tidak memiliki pengalaman terbaik. Hanya dengan Vasyanda. Meskipun bisa dihitung jari pertemuan mereka, tetapi Danastri bersyukur Vasyanda tidak sama seperti yang teman-temannya katakan.

Angin semilir mengepakkan dedaunan hijau. Hawa dingin menyeruak masuk menyentuh kulit yang tidak berlapis kain. Burung-burung mulai berkicau indah dan ayam jantan berkokok setiap saat. Tidak se-berisik biasanya dikarenakan suara itu tertelan oleh derasnya hujan.

Pagi-pagi begini, jika sudah diguyur hujan lebih enak menggulung badan dengan selimut tanpa mau keluar. Mendekam diri di kamar seharian, merebus mie kuah rasa soto ayam buatan Nenek, sudah sangat menggugah selera. Sayangnya itu hanyalah angan belaka. Danastri harus mengubur dalam-dalam angan itu karena sekarang bukan waktu yang tepat untuk bermalas-malasan.

Danastri harus sekolah.

"Dinginnya ...," keluh Danastri. Pandangan matanya menatap air hujan setetes demi setetes. Aroma khasnya tercium dengan jelas dalam hidung Danastri. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Danastri hirup aromanya sampai puas hingga memenuhi rongga dada.

Jika tidak hujan, biasanya pagi-pagi sudah berkeringat. Entah apa penyebabnya, Danastri sendiri tidak tahu. Hal itu yang membuat dirinya tidak malas bertemu dengan air lalu mandi sangat lama. Karena memang harus menuntaskan semua rasa gerah yang mendera tubuhnya.

Dan sekarang, pagi-pagi hujan datang. Ditambah semilir angin yang menyejukkan. Danastri tidak lagi merasakan gerah, melainkan rasa dingin yang membuat kakinya terasa anyep. Maka jalan satu-satu adalah mendekam dalam selimut tebal bercorak lorek-lorek. Kasurnya bahkan ikut mendingin sebab udara pagi ini.

>> Anyep is dingin.

"Astri nggak mandi?" tanya Nenek. Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, Nenek selalu mandi tepat sebelum subuh. Danastri yakin sekali itu hal paling mujarab agar tetap awet muda. Walaupun sudah dimakan usia, tidak menampik bahwa Nenek masih saja cantik di mata Danastri.

"Dingin, Nek," rengek Danastri. Tubuhnya semakin tenggelam pada selimut. Suasananya nyaman sekali, membuat jiwa mager Danastri meronta-ronta. Namun, ia harus sekolah apapun alasannya!

"Kalau nggak cepet-cepet mandi, bakal dingin to, Nduk. Coba kalau sudah di dalam kamar mandi, pasti jadi segar," tutur Nenek. Padahal biasanya jam segini sudah melihat cucunya itu mengenakan seragam dan bersiap untuk sarapan. Tetapi kali ini, hujan berhasil membuat Danastri Priyanka terserang rasa malas.

"Pasti teman-teman Astri berangkat lebih siang." Danastri meringis mendengar kalimat yang ia ucapkan sendiri. Teman-teman? Yang benar saja. Mana ada Danastri punya teman. Hanya dengan Vasyanda kemarin berbagi cerita, paling nanti sudah beda lagi sikapnya. Danastri sudah kebal.

"Astri nggak takut telat?" tanya Nenek. "Yang habis ulang tahun harus semangat dong! Ada harapan baru yang Astri perjuangkan. Jangan lupa, semakin bertambah usia, semakin kurang umurnya."

Fokus Danastri teralihkan. "Oh, iyakah, Nek?"

"Iya, Nduk. Semakin kita bertambah tua, semakin dekat kematian. Karena kematian itu misteri, yang kita nggak tahu kapan akan mengalami hal tersebut, Nduk. Bisa saja saat masih bayi, balita, remaja atau bahkan dewasa. Lebih kebanyakan jika sudah tua. Umur segitu sudah waktunya memperbaiki semua yang pernah dilakukan saat masa-masa dulu."

Sudah Danastri jelaskan. Suara Nenek dipadukan dengan suara hujan adalah hal paling menenangkan. Ditambah suasana hangat yang tercipta di antara mereka. Hanya ada Nenek dan dirinya saja.

Ngomong-ngomong soal Ibu, beliau belum terlihat batang hidungnya setelah mengajak Danastri ke tempat berbelanja kemarin. Entah karena menghindari Danastri atau pergi karena urusan penting. Jika Bapak? Jangan ditanya lagi. Bapak tidak ada wujud sama sekali. Dalam seminggu, Danastri bisa menghitung dengan jari pertemuannya dengan Bapak. Yang pasti, tidak lebih dari dua kali.

Sekarang, Danastri tidak masalah dengan Ibu dan Bapak yang tidak peduli padanya. Namun, Danastri selalu berharap jika hubungan Ibu dan Bapak terus harmonis meskipun tidak di depan mata Danastri. Sebab rasa takut itu terus ada. Terus berputar bagai kaset lama yang diputar kembali pada televisi baru.

Dan saat itu, Danastri menyadari satu hal, bahwa Ibu pernah memeluknya. Memeluk dengan tangisan yang sangat menyayat hati, sangat menyakitkan dan mampu membuat Danastri ikut menangis. Danastri seperti merasakan tidak ada cinta dari Bapak. Tidak ada rasa kasih sayang dari Bapak. Apa benar, jika dua orang berbeda gender tersebut melakukan sesuatu yang menyebabkan hubungan mereka tidak manis?

Danastri selalu melihat Ibu dan Bapak teman-temannya bisa bersikap hangat satu sama lain tanpa malu mengakuinya di depan khalayak ramai. Namun, Ibu dan Bapak Danastri berbeda. Sampai Danastri kebingungan, hubungan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibu dan Bapak.

"Astri?"

"Nduk?"

"NANA!!!"

Danastri mengerjapkan mata dengan linglung. Tersadar jika ia masih bercerita dengan Nenek dalam ruangan ini. "Iy-Iya, Nek?"

"Kenapa Astri melamun?" tanya Nenek lembut. "Ada yang mengganggu pikiran Astri ya? Atau ada hal yang buat Astri penasaran?"

Danastri menatap Nenek dengan pandangan sendu. Nenek selalu baik saat dirinya belum menjadi cucu kebanggaan Nenek. Nenek selalu tahu apa yang Danastri inginkan, tapi dirinya berbuat sebaliknya. Nenek tetap sabar saat Danastri justru menganggap semuanya terasa ilusi.

Tidak ada orang lain yang sabar, seperti sabarnya Nenek menghadapi semua tingkah Danastri. Tidak ada orang lain yang kasih sayangnya seperti yang Nenek berikan kepada Danastri. Tidak ada yang bisa menggantikan Nenek di hati Danastri, termasuk Ibu dan Bapak sekalipun. Jadi, Bolehkah jika Danastri terus mengharapkan kehadiran Nenek di setiap langkah yang ia tempuh?

"Hehe, Astri kepikiran kalau nanti bakal telat sekolah terus dihukum sama Bu Guru." Danastri menggaruk hidung. Melihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih, mata Danastri langsung melek dan meloncat keluar dari selimut. "Astri mau mandi, Nek! Biar nggak telat dan dihukum. Seram juga kalau dihukum pas hujan-hujan, pasti lapangannya becek."

Danastri terus menggerutu sepanjang langkah menuju kamar mandi. Meninggalkan Nenek yang menatap punggungnya hingga tertelan oleh jarak.

"Astri suka banget memendam masalah sendirian?"

"Astri suka banget memendam masalah sendirian?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

gesss tau ga, kemarin di sini ada gempa kecil. soalnya rumahku deket sm daerah yg terjadi gempa. kalau daerah kalian gmna? semoga ttp aman ya! 🤍

DANASTRI: Pedar KandarpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang