𝚂𝚒𝚓𝚒 - 𝟷

56 42 50
                                    

Kehidupan Danastri Priyanka tidak semudah orang lain bayangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kehidupan Danastri Priyanka tidak semudah orang lain bayangkan. Terlalu rumit untuk diceritakan secara gamblang. Hidup Danastri bagai benang kusut yang tak kunjung usai, tidak akan pernah sampai ujung.

Baru saja Danastri menginjak jenjang SMA. Sama seperti kata orang-orang jika masa SMA memiliki sisi kehidupan manis yang tiba-tiba. Tetapi, apakah Danastri boleh menolak mentah-mentah perkataan tersebut? Bukan apa-apa, hanya saja bagi Danastri semuanya sama. Di masa SD, SMP hingga sekarang; SMA, tidak ada yang berubah di kehidupannya.

Lembaran kertas silih berganti, tapi perjuangan Danastri tak kunjung usai.

"Besok ke sekolah sendiri, Bapak sama Ibu nggak bisa antar kamu. Kamu juga sudah besar, jadi harus belajar mandiri," kata Ibu. Di ruang tengah yang seharusnya banyak perbincangan hangat, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Danastri menunduk dalam. Apa yang ia harapkan sekarang? Ibu termasuk orang yang suka ceplas-ceplos jika berbicara. Berbeda dengan Bapak yang sering diam. Namun, sifat Bapak lebih dominan tidak peduli. Mana pernah Danastri berlama-lama dengan keduanya.

"Astri cuma minta waktu sebentar, Bu," balas Danastri pelan. Ia menahan air matanya sebisa mungkin agar tidak tumpah. Danastri tidak boleh cengeng, ia sudah besar sekarang.

Ibu menggeleng tegas pertanda menolak. Memupuskan semua harapan Danastri seketika. "Nggak ada waktu. Kamu juga udah punya sepeda, kenapa nggak dipakai? Sia-sia dikasih sepeda."

Pandangan Danastri beralih. Yang diucapkan Ibu benar adanya. Sepeda tersebut diberi seseorang yang sangat dekat dengan Ibu dan Bapak. Dulu, seseorang tersebut adalah bos dari tempat kerja Bapak. Namun sekarang, Bapak dan Ibu sudah berpindah tempat kerja, tidak di sana lagi.

Sepedanya sudah kecil sedangkan badan Danastri terus tumbuh. Apa yang akan orang-orang katakan jika melihat Danastri menggunakan sepeda tersebut?

Sepedanya lebih bagus dijuluki barang rongsokan. Sudah lama, terdapat karat di mana-mana, sebagian cat mengelupas. Jika boleh jujur, sepeda itu harus segera diperbaiki. Dan Danastri, tidak ada keberanian untuk berucap.

"Nggak usah sok-sokan dianter segala. Waktu kamu masih SD aja bisa jalan sendiri, SMP dianter Nenek. Terus sekarang jatahnya Ibu dan Bapak yang nganter kamu ke sekolah? Ya enggak lah. Kamu lebih dewasa sekarang pastinya. Jangan kekanak-kanakan."

Padahal, Danastri melakukan itu hanya menginginkan kehadiran Ibu dan Bapak, menghadiri masa SMA-nya yang pertama kali. Bukan karena kekanakan, lebih dari itu, Danastri menginginkan pertama kalinya menjadi anak SMA menyenangkan seperti yang orang-orang sudah katakan.

Niat Danastri tidak lebih dari itu, tapi Ibu selalu menganggapnya kekanak-kanakan. Hati Danastri sakit? Tentu saja. Danastri tipe orang perasa dan semua perkataan orang akan ia masukkan ke dalam hati. Sampai-sampai Danastri sendiri yang kewalahan menghadapi isi hatinya.

"Iya, Bu, Astri bakal berangkat sendiri besok." Danastri tersenyum getir melihat Ibunya yang kini perlahan menjauh tanpa berucap sepatah kata.

Memandang punggung Ibunya dengan pandangan campur aduk. Antara sedih, kecewa, marah dan sakit. Kapan ya, Ibu akan peduli padanya meski hanya sebentar?

"Udah ya, Nduk, jangan sedih begitu. Sebagai gantinya, Nenek bakal antar Astri besok ke sekolah. Gimana? Mau nggak?" ucap Nenek sambil mengelus lembut punggung Danastri. Menampilkan senyuman hangat kepada cucunya. Nenek Ratnasari Pujangga adalah malaikat terbaik di hidup Danastri.

Ruangan tengah selalu sepi. Langit yang mulanya cerah dan bersinar perlahan gelap tertutup awan hitam yang bergerombol. Rumah Nenek seketika gelap layaknya waktu malam tiba. Suara gemuruh terdengar memasuki pendengaran orang-orang sekitar. Angin berhembus sedikit kencang, mengibarkan kain warna merah yang terpasang menggantikan pintu ruangan tengah. Suasana seperti mendukung Danastri menumpahkan kesedihan.

"Nggak perlu repot-repot, Nek. Betul kata Ibu, Astri udah besar dan harus mandiri. Nggak boleh bergantung sama siapapun. Besok, Astri boleh pinjam sepeda Nenek?"

Sepeda Nenek merupakan sepeda ontel. Sepeda yang banyak digemari orang-orang jaman dulu. Di desa Danastri, sebagian kecil orang masih ada yang menggunakan sepeda ontel, salah satunya adalah Nenek. Nenek pernah bilang, jika sepeda itu dulunya milik Kakek. Karena masih bagus, Nenek memanfaatkan sepeda tersebut agar tidak cepat rusak.

"Nenek sebenernya nggak repot, Nduk. Nenek malah seneng bisa anter Astri ke sekolah baru. Dapet temen baru juga, suasana baru dan pengalaman baru. Jangan lupa juga, Nduk, pasti bakal ada kebahagiaan baru yang menanti."

Suara rintik hujan perlahan terdengar berisik pada genteng-genteng rumah Nenek. Membuat suasana tidak se-sepi tadi. Ada suara hujan dan gemuruh berbondong-bondong melengkapi langit. Meskipun cuaca perlahan dingin, Danastri tetap membiarkan kipas angin menyala, berputar ke kanan dan ke kiri.

Kebahagiaan baru menanti? Itu kedengaran mustahil bagi Danastri. Ia sendiri tidak yakin akan bisa menjalani hidup barunya menuju dewasa. Apakah akan menyenangkan seperti ketika dulu ia menginginkannya?

Danastri menggeleng mendengar pernyataan Nenek. "Sekali-kali Astri belajar mandiri, Nek. Astri udah besar, Nggak mau terus-terusan ngrepotin Nenek. Biar kalau Astri udah bisa naik sepeda, Astri minta ajarin temen Astri naik motor. Astri bisa anter Nenek ke pasar, anter ke proyek atau anter Nenek ke arisan."

Air hujan semakin deras membasahi bumi. Berkali-kali juga, angin mendobrak jendela kamar Danastri, tapi sang empu hiraukan. Danastri menyukai hujan dan apapun yang berhubungan dengan hujan. Namun ada satu hal yang Danastri takuti, yaitu suara petir yang menggelegar.

Banyak kata yang Danastri sampaikan kepada hujan. Tentang perjuangan, tentang kasih sayang yang ingin ia dapatkan dari Ibu dan Bapak, tentang rasa sakit yang selama ini ia pendam sendirian.

"Nduk, punya harapan itu hal yang mulia. Semua manusia pasti memiliki harapan entah sekecil apapun itu, tapi satu hal yang pasti, harapan kadang bisa bersinggungan dengan kenyataan semesta. Karena pada hakikatnya, Allah pemegang kendali terhadap kehidupan." Suara merdu Nenek bergabung dengan suara hujan. Perpaduan keindahan yang Danastri selalu betah mendengarkannya dalam waktu lama.

"jadi, tau to, Nduk, apa yang harus Astri lakukan?"

"Iya, Nek, Astri harus selalu berdo'a sama Allah. Harapan Astri ada banyak, tapi bukan berarti harus semua terkabul. Mungkin kalau ada harapan Astri yang nggak terkabul itu tandanya Allah punya rencana lain. Iya 'kan, Nek?"

"Astri pintar sekali, cucu Nenek yang sangat cantik hatinya dan wajah ayunya. Semoga Allah selalu melindungi Astri dari segala keburukan."

Kebiasaan Nenek Ratna sudah Danastri hapal di luar kepala. Nenek begitu baik. Jika sudah memuji pasti selalu diakhiri do'a yang terdengar tulus.

Danastri mendekap Nenek penuh rasa syukur. "Astri sayang Nenek."

Nenek membalas pelukan cucunya itu tak kalah hangat. "Nenek lebih sayang Astri."

Ya Allah, terimakasih.

Info!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Info!!

*Nduk: panggilan untuk perempuan yg lebih muda di Jawa. misal ibu ke anak, nenek ke cucu atau bisa suami ke istri.

*tau to: tau 'kan.

DANASTRI: Pedar KandarpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang