𝚆𝚘𝚕𝚞𝚕𝚊𝚜 - 𝟷𝟾

12 10 4
                                    

Dari sekian banyaknya bahasa rindu, pasti terselip nama Kakek di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari sekian banyaknya bahasa rindu, pasti terselip
nama Kakek di sana. Kakek yang sudah pergi jauh, tidak bisa tergapai kembali. Namun, ada satu hal yang selalu Kakek tunggu, seperti yang Nenek katakan bahwa Kakek menerima semua bahasa rindu termasuk do'a. Meskipun tidak ada jawaban, tapi do'a adalah wujud bukti bahwa rasa rindu itu tidak pernah pudar.

"Nenek rindu Kakek ya?"

Melihat binar mata Nenek redup, Danastri langsung peka. Di halaman rumah, tepat di depan Joglo sederhana itu Nenek dan Danastri menghabiskan waktu senja bersama. Ditemani beberapa pohon rindang dan juga daun yang saling berjatuhan. Angin sepoi-sepoi ikut serta dalam rasa rindu yang membuncah.

Nenek menampilkan seutas senyum. Namun, sorot matanya tetap redup. Entah itu benar-benar bahasa rindu atau ada hal lain yang sedang Nenek pikirkan. "Dibilang rindu, iya. Dibilang enggak, Nenek bohong. Bayangan Kakek menyapu di halaman sini masih terekam jelas di ingatan Nenek, Nduk. Kakek itu orangnya suka kebersihan. Nggak heran kalau halaman rumah, di dalam rumah selalu rapi dan bersih."

Dalam banyak kata, Danastri selalu menangkap Nenek berucap dengan nada sendu jika ada hal berkaitan dengan Kakek. Nenek rindu, tapi juga sedih secara bersamaan. Danastri tidak tahu lebih apa sebenarnya Kakek lakukan saat masih bersama Nenek. Dan satu fakta, Kakek meninggalkan dunia saat Danastri masih usia balita. Jadi, Danastri tidak terlalu mengingat.

"Pasti dulu Nenek sama Kakek pasangan yang serasi, iya 'kan?" tanya Danastri iseng. Siapa tahu jika ia melayangkan pertanyaan random membuat Nenek melupakan sendunya.

Nenek tertawa. "Pasangan serasi? Ada-ada aja Astri iki," katanya sambil geleng-geleng kepala. "Pasangan itu, buka dilihat dari serasinya, Nduk. Pasangan itu diciptakan untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing dan juga saling belajar menerima satu sama lain."

Danastri ber-oh ria, kepalanya manggut-manggut beberapa kali. Pembahasan orang dewasa tidak sederhana yang ia pikirkan. Pasti selama ini Nenek belajar banyak hal dari masa dewasa.

"Kamu tau rumah tingkat gedhe itu, Nduk?" Jempol kanan Nenek menunjuk salah satu rumah milik tetangga. Rumah paling besar sekaligus paling menonjol di antara rumah lainnya.

"Iya, Nek, kenapa?"

"Dulu Kakek pernah kerja di situ," jawab Nenek.

Satu dua kali Danastri melewati depan rumah tersebut. Karena saat Danastri bersepeda, otomatis akan melewati jalan kecil di sana. Berhubung Danastri tidak menyukai tempat ramai, alhasil ia memilih jalan pintas saja. Karena tidak banyak orang yang mau melewati jalan itu.

Dari arah depan, Danastri bisa melihat kolam ikan dengan segala kemewahannya. Ada air terjun buatan juga pohon yang sudah terpotong menjadi dua. Suara airnya berisik, tapi juga memenangkan secara bersamaan. Aroma khas ikan ikut menghiasi pemandangan di sana. Danastri pernah ada keinginan melihat secara langsung, tapi itu hak mustahil. Yang bisa ia lakukan hanya memandangi dari jauh.

DANASTRI: Pedar KandarpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang