"Penyakit kamu ini sudah tidak bisa diobati lagi, Kaili." Pria yang usianya sudah lebih setengah abad itu melempar tatap prihatin pada Kaili, perempuan yang terbaring lemah di ranjangnya.
Kaili tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Namun, kata gurunya, penyakit ini adalah racun cacing darah yang hanya bisa dikeluarkan oleh orang yang berbeda dimensi dengannya. Jujur, Kaili tidak mengerti. Dia bingung. Otak kecilnya tidak mampu mencerna dengan benar setiap ucapan yang dilontarkan gurunya.
"Guru selalu bilang penyakit Kai kiriman dimensi lain. Tapi ... Kai sama sekali enggak pernah ngerti. Racun cacing darah? Apa itu? Kai—" Perkataan Kaili terpotong oleh batuknya sendiri. Tangan perempuan itu terangkat menutup mulut. Lagi, darah kembali keluar dari mulut, bahkan hidungnya.
Tangan Kaili bergetar saat melihat banyak darah, pun dengan bibirnya yang ikut bergetar, matanya mulai memanas sebelum cairan bening yang terkandung di pelupuk meluncur jatuh menyamping mengenai bantal yang dia jadikan alas penyangga kepala. Penyakit ini ... apakah Kaili benar-benar akan mati karena digerogoti oleh cacing darah ini?
"Gu-guru ... Kai enggak mau mati. Kai mau ngelakuin apa pun, tapi Kai enggak mau mati." Dia belum menemukan orang tuanya yang menghilang sejak Kaili berusia lima tahun dan diasuh oleh gurunya hingga saat ini.
Kaili disekolahkan, diberi kasih sayang, diajarkan berbuat baik kepada sesama. Namun, tepat tiga bulan lalu Kaili mendadak jatuh sakit. Sakit yang aneh. Tubuhnya selalu mengeluarkan darah, entah itu dari mulut, hidung, telinga, bahkan pernah beberapa kali keluar dari matanya.
Kepalanya menggeleng pelan, air mata terus keluar. Membayangkan dia akan mati dan dikubur dalam tanah, ditinggalkan seorang diri tanpa siapa pun, tanpa penerang sedikit pun, membuat Kaili begitu ketakutan.
"Kaili mau pergi ke dimensi lain? Kaili akan mendapatkan kesehatan dalam waktu seratus hari setelah memakan mawar hitam yang tumbuh di sana. Jika berhasil menjalankan misi, kamu akan sehat kembali, akan ada seseorang yang bisa mengeluarkan cacing darah dalam tubuh kamu. Namun, jika gagal, kamu akan mati."
Pertkataan gurunya bagaikan air deras yang mengguyur gurun pasir. Kaili menghapus air matanya. Dia tentu mau. Asalkan bisa hidup, Kaili rela melakukan apa pun. Matanya berkilat penuh tekat. Rasa sakit yang menggerogoti hatinya seolah tidak berarti hingga dia abaikan dengan bangun dari posisi berbaring.
Kaili menatap gurunya yakin. Lalu berkata, "Kai mau pergi ke dimensi lain."
***
Selesai ditulis tanggal 24 Agustus 2024.
Ambyar! Setelah sekian lama gak nulis pakai pov 3, akhirnya di cerita ini aku balik ke pov 3 lagi. Jujur cerita ini bukan gayaku banget, bukan aku banget. Tapi aku benar-benar merasa tertantang dan pengen menyelesaikan cerita ini sesuai ketentuan event yang diadakan stora media. Promptnya juga dari mereka, jadi peserta tinggal kembangin dunia masing-masing.
Kebayang dong serunya gimana? Sksksksks. Semoga tamat, ya, gesss.
Luv, Zea❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Within a Hundred Days (TAMAT)
Historical FictionKaili terjebak di dunia aneh! Karena penyakit aneh yang diderita oleh Kaili, dia diberi pilihan oleh gurunya, mati ditelan oleh penyakit atau pergi ke dimensi lain untuk menjalankan misi agar penyakitnya bisa sembuh sepenuhnya. Kaili masih muda, d...