Dia bukan ibuku.
Memiliki nama yang sama, wajah yang serupa, bukan berarti dia orang yang sama, bukan berarti dia orang yang Kaili cari selama ini. Ibu dan ayahnya menghilang sejak dia masih balita, tidak banyak memori tentang mereka. Hanya saja, foto dalam bingkai kalung namanya yang membuat Kaili bertekad untuk mencari keberadaan mereka.
Setelah bertemu dengan Ratu Annaki, tepat setelah Kaili memperkenalkan diri, wanita itu menyuruh pengawal untuk memukulnya dengan papan. Hukuman militer untuk pelayan yang berani menatap mata sang ratu.
Di dunia ini, mana ada ibu yang sekejam itu. Mana ada ibu yang tidak mengenali anaknya lewat tatapan mata. Wajah Kaili tidak jauh berbeda saat dia masih kanak-kanak. Perubahannya tidak terlalu signifikan sampai bisa membuat orang-orang tidak mengenalinya.
Setelah keluar dari istana, Shaka membawanya ke ruang rahasia. Laki-laki itu kembali mengobati luka baru Kaili. Padahal luka bekas cambukan saja belum mengering, tapi Ratu Annaki sudah menambahkan hanya karena mata Kaili bersinggungan dengan mata Ratu Annaki.
"Ratu Annaki memang sesuai rumor. Tapi ngomong-ngomong, kenapa Ratu Annaki sangat perhatian sama kamu dibandingkan saudara kamu yang lain?"
Saat masih di dalam istana, sebelum Kaili dijatuhi hukuman, dia sempat melihat Pangeran Erdu, adik kedua dari Shaka. Sambutan Ratu Annaki terhadap Erdu tidak seramah sambutannya pada Shaka yang penuh kelembutan. Kentara sekali kalau Ratu Annaki lebih menyayangi Shaka.
"Kamu tidak memili kualifikasi untuk mempertanyakan hal itu pada saya." Sahutan datar yang keluar dari mulut Shaka berhasil mengundang dengkusan kasar Kaili.
Dia lupa akan status barunya. Mana bisa pelayan rendahan berteman dengan majikannya yang merupakan seorang pangeran.
Perempuan itu lantas bangkit padahal Shaka masih sibuk mengolesi luka di punggungnya. Dia membenahi pakaiannya lalu menatap ke arah Shaka yang menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya apa maksud dari tindakannya barusan.
"Maaf, Yang Mulia. Saya tidak punya kualifikasi untuk diobati langsung oleh Yang Mulia." Tubuh perempuan itu membungkuk, seolah memberi penghormatan pada Shaka yang kini menarik satu sudut bibirnya ke atas. Lantas laki-laki itu meletakkan kotak obat yang di ranjang sebelum keluar meninggalkan Kaili.
"Lata, beri titah pada Kai untuk memimpin jalan keluar dari ibu kota." Suara nyaring Shaka menggema di seluruh ruangan, membuat Kaili sangat bernafsu melemparinya dengan batu besar agar laki-laki itu berhenti bersikap menyebalkan.
Kalau saja bukan karena membutuhkannya untuk menjalankan misi, Kaiki mana mau mengikuti Shaka pergi bahkan menjadi pelayan pribadi.
"Pelayan Kai, ini barang-barang milik ketua. Bawa barang bawaan kamu, dan pergi lewat lorong menuju kediaman ketua. Kami akan menunggu di luar gerbang ibu kota." Lata menyerahkan buntalan yang berisikan pakaian milik Shaka.
Menuruti apa yang diintruksikan oleh Lata, Kaili berjalan melewati lorong panjang, lalu menaiki tangga dan keluar di sebuah kamar yang cukup besar. Sepertinya ini kamar Shaka. Matanya menjelajah mencari laki-laki itu hingga samar-samar dia melihat bayangan dari balik tirai yang Kaili duga dia adalah Shaka.
"Yang Mulia, apakah butuh bantuan?" tanya Kaili sembari mengayunkan langkah mendekat ke arah bayangan itu. Namun, baru beberapa langkah dia mendekat, sebuah anak panah menembus tirai itu. Secara spontan, Kaili menghindar dan netranya melihat anak panah itu tertancap di salah satu tiang kamar.
"Refleks yang bagus. Ke depannya kamu harus lebih sering di latih seperti ini." Shaka muncul dari balik tirai dengan busur panah di tangannya. Laki-laki itu tersenyum tipis pada Kaili yang masih mengatur debaran dalam dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Within a Hundred Days (TAMAT)
Historical FictionKaili terjebak di dunia aneh! Karena penyakit aneh yang diderita oleh Kaili, dia diberi pilihan oleh gurunya, mati ditelan oleh penyakit atau pergi ke dimensi lain untuk menjalankan misi agar penyakitnya bisa sembuh sepenuhnya. Kaili masih muda, d...