16. Keluar Dari Kediaman

14 2 2
                                    

Langkah kaki Kaili berhenti saat dia sudah tiba di paviliun. Kepalanya mendongak, menatap langit gelap, menampilkan bulan yang ditutupi kabut awan. Jika dihitung dari waktu Shaka pergi, harusnya malam ini laki-laki yang sudah berstatus menjadi suaminya sudah kembali. Namun, sejak matahari terbenam hingga nyaris tengah malam, Shaka belum juga menunjukkan tanda-tanda kedatangannya.

Tangan Kaili terangkat, mengusap bahu yang hanya tertutup oleh pakaian tipis berbahan sutra, meski terasa lembut, dinginnya angin malam tetap terasa menusuk hingga ke tulang. Perempuan itu lantas mengembuskan napas panjang. Sudah sejauh ini, dia tidak mungkin mempersalahkan atau memperdebatkan keputusan sepihak yang diambil oleh Shaka. Jalani saja. Jika beruntung, takdirnya akan berakhir dengan baik. Jika tidak beruntung, mungkin takdirnya tidak mengizinkan Kaili untuk hidup lebih lama.

"Sudah larut malam begini, apa yang Tuan Putri lakukan di sini?" Suara asing menyentuh indra pendengarannya. Kaili lantas berbalik, menoleh ke arah laki-laki yang usianya nampak sepantaran dengannya.

"Tuan ...." Kaili sengaja tidak menyelesaikan ucapannya agar laki-laki yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan mengungkapkan identitasnya.

Laki-laki itu tersenyum, sebelum kemudian dia berkata, "Tidak penting siapa saya. Di dunia ini banyak ketidakadilan yang terjadi. Tidak peduli apa yang kamu tunggu, tinggalkan kediaman ini sebelum fajar terbit."

"Kenapa? Kenapa saya harus menuruti perkataan, Tuan?" Kaili langsung berdiri, mencegat ketika laki-laki itu menunjukkan gerakan ingin pergi dari hadapannya.

"Tuan Putri, nasib manusia itu ibaratkan daun gugur. Melayang dan tidak dapat dikendalikan. Dengarkan dan jalankan saja. Jangan banyak bertanya jika ingin selamat." Selanjutnya Kaili hanya bisa bergeming di tempat saat laki-laki itu benar-benar pergi dari hadapannya.

Apa yang harus Kaili lakukan sekarang? Shaka belum kembali padahal sudah lewat tengah malam. Pergi meninggalkan kediaman ini sendiri? Tidak bisa. Misinya akan gagal jika Shaka tidak ada di sampingnya. Perempuan itu lantas mengigit bibir sembari berjalan mondar-mandir sementara otaknya berpikir keras.

"Apa aku harus mengambil resiko menemui Shaka di goa batu?" Shaka bilang goa batu bukanlah tempat yang mudah didatangi. Ada banyak hal yang bisa membahayakan nyawanya. Namun, jika Kaili tidak pergi, takutnya dia tidak akan sempat pergi dari sini sebelum fajar tiba. "Mau tidak mau, aku harus mendatangi Shaka."

Kaili bergegas kembali ke kamar, mengambil buntalan kain yang berisi pakaian serta makanan yang sengaja dia simpan lalu pergi ke goa batu. Kediaman ini cukup rumit. Namun, sebelum pergi Shaka sudah memberitahu di mana letak goa batu. Katanya untuk berjaga-jaga. Benar saja, pemikiran Shaka waktu itu berhasil membuatnya mengambil keputusan yang cukup beresiko.

***

Kaili tidak merasakan bahaya apa pun saat tiba di bibir goa. Namun, ketika dia sudah memasukinya sekitar seratus meter dari pintu masuk goa, suara-suara mulai memenuhi indra pendengarnya. Suara yang terdengar begitu familier memanggil namanya hingga membuat Kaili mengingat satu peristiwa dalam hidupnya.

Waktu itu Kaili baru menginjak usia lima tahun. Dia ingat ayah dan ibunya mengajak ke taman bermain yang kala itu tengah populer di kalangan penduduk. Banyak wahana bermain yang menurut Kaili mengasyikkan. Ada komidi putar, kincir angin, permainan memasukkan ring, dan masih banyak lagi.

"Ibu, Kaili mau naik kuda." Keinginan Kaili kecil sangat sederhana hingga ibu pun menuruti dengan suka cita dengan membawanya naik komidi putar. Awalnya Kaili tersenyum lebar, dia begitu senang menaikinya, apalagi saat melihat ayah dan ibu tersenyum bahagia. Namun, senyuman di wajah Kaili mendadak hilang kala menyadari orang tuanya tidak berada dalam penglihatannya.

Within a Hundred Days (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang