...
Malam itu, suasana rumah terasa semakin sunyi. Clemira duduk sendirian di ruang keluarga, memandang ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan malam yang gelap dan sepi. Di tangannya, secangkir teh hangat yang telah dingin karena terlalu lama dibiarkan. Pikiran Clemira melayang-layang, memikirkan segala hal yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir.
Shabira dan Meshal belum kembali dari jalan-jalan mereka. Sejak pagi, mereka keluar tanpa mengatakan kapan akan pulang. Meshal memang tidak pernah merasa perlu memberitahu Clemira ke mana ia pergi atau kapan ia akan kembali. Situasi ini membuat Clemira semakin merasa terabaikan.
Meskipun ia mencoba tetap berpikir positif dan sabar, rasa kesepian terus menggerogoti hatinya. Clemira sangat merindukan saat-saat ketika dia memiliki seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang bisa diajaknya berbicara dari hati ke hati. Namun, di rumah ini, semua terasa dingin dan jauh.
Setelah beberapa saat, Clemira memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Dia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Namun, saat dia baru saja meletakkan cangkir teh di atas meja dan beranjak pergi, terdengar suara pintu depan terbuka. Clemira menoleh dan melihat Meshal dan Shabira masuk.
Shabira terlihat sangat ceria, tertawa kecil sambil mengobrol dengan Meshal, sementara Meshal tetap dengan wajah datarnya, tetapi kali ini ada sedikit kelembutan yang jarang terlihat saat dia berbicara dengan adiknya.
"Sudah pulang?" tanya Clemira pelan, berusaha terdengar ramah meskipun hatinya terasa berat.
Meshal hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan melewati Clemira menuju kamarnya. Shabira mengikutinya dari belakang, tetapi sebelum benar-benar menghilang ke dalam kamar, dia melirik ke arah Clemira dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sedikit kebencian, atau mungkin rasa iri yang tersirat di mata gadis itu.
Clemira menelan ludah dan memutuskan untuk tidak memikirkan tatapan Shabira. Dia terlalu lelah untuk terlibat dalam konflik malam ini. Namun, sebelum dia bisa benar-benar menuju kamarnya, Shabira tiba-tiba berhenti di depan pintu dan menoleh ke arah Clemira.
"Kak Clemira," panggil Shabira dengan nada yang lebih serius daripada biasanya. "Kenapa kamu selalu seperti ini? Kenapa kamu tidak pernah mencoba lebih keras untuk membuat Kak Meshal bahagia?"
Pertanyaan itu seperti tamparan keras bagi Clemira. Dia berdiri kaku, tidak tahu harus menjawab apa. Shabira menatapnya dengan tajam, menunggu jawaban.
Clemira mencoba menahan emosinya yang mulai meluap. "Aku... Aku sudah berusaha, Shabira. Aku benar-benar berusaha. Tapi mungkin, aku hanya tidak cukup baik untuknya."
Shabira mendengus, "Kak Meshal butuh seseorang yang bisa memahami dia, bukan seseorang yang hanya berusaha. Kalau kamu tidak bisa, mungkin kamu harus berpikir ulang tentang apa yang kamu lakukan di sini."
Kata-kata itu menusuk hati Clemira. Dia tahu Shabira masih muda dan belum sepenuhnya mengerti kompleksitas hubungan mereka, tetapi ucapan itu tetap menyakitkan. Tanpa menjawab, Clemira hanya menunduk dan berjalan menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Clemira menutup pintu dan bersandar di sana, menahan air mata yang hampir jatuh. Rasanya semakin sulit untuk bertahan setiap harinya. Ia merindukan kehangatan dan cinta yang dulu dibayangkannya akan dia temukan dalam pernikahan ini. Namun, yang ia temui hanyalah kebekuan dan kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia di Balik Istana Pasir (END)
Teen Fiction"Kau tahu, Clemira," Meshal mulai berbicara, suaranya penuh ketenangan yang menakutkan. "Aku bukan hanya suamimu. Aku juga akan menjadi orang yang mengambil alih apa yang kau miliki. Keluargamu... perusahaanmu... semua itu akan menjadi milikku." Cle...