29. Sebuah Harapan baru

13 7 0
                                    

Pagi itu, suasana di rumah keluarga El Sherif terasa tegang. Keluarga Clemira, terutama ayahnya, Aidl Nassef El Sherif, sangat tidak menyukai Meshal setelah semua yang terjadi. Mereka telah menyaksikan bagaimana Clemira terluka, dan mereka merasa Meshal tidak layak untuk menemui putri mereka lagi. Namun, Meshal yang sangat ingin bertemu dengan Clemira, datang dengan alasan yang tak bisa dibantah—untuk melihat anaknya.

"Dia tetap ayah dari anak yang dikandung Clemira," kata Ameerah Maisha Zara, ibu Clemira, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka. “Kita tidak bisa memisahkan mereka tanpa alasan yang jelas.”

Dengan perasaan campur aduk, Aidl akhirnya setuju, meskipun dengan sikap yang masih penuh kebencian. “Baiklah, biarkan dia masuk, tapi aku akan mengawasi mereka,” ucapnya tegas.

Meshal, yang sejak tiba di depan pintu telah dipenuhi kecemasan, menarik napas dalam-dalam ketika akhirnya diperbolehkan masuk. Di ruang tamu yang terasa sunyi, ia melihat Clemira duduk di sofa, wajahnya terlihat sedikit lelah namun tetap cantik dengan cahaya lembut dari sinar matahari yang masuk melalui jendela. Perutnya sudah mulai membuncit, tanda dari kehamilan yang semakin matang.

Mata Clemira bertemu dengan mata Meshal, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Meskipun hatinya penuh dengan berbagai perasaan yang bergejolak—rasa marah, kecewa, rindu—dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang timbul di hatinya saat melihat Meshal berdiri di sana.

"Clemira," ucap Meshal lembut, melangkah mendekat dengan hati-hati, seolah takut gerakannya yang terlalu cepat akan membuat segalanya berantakan. "Aku datang untuk bertemu denganmu... dan dengan anak kita."

Clemira tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Meshal kemudian berlutut di hadapannya, mendekatkan tangannya ke perut Clemira yang mulai membuncit. Dia mengelusnya dengan lembut, matanya penuh dengan kehangatan dan penyesalan.

"Maafkan aku," bisik Meshal, suaranya bergetar dengan emosi. "Aku tidak pernah bermaksud melukaimu, atau anak kita. Setiap hari, aku memikirkan kalian. Aku tahu aku banyak berbuat salah, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya."

Clemira merasakan sentuhan Meshal di perutnya, dan perasaan aneh menyelimuti hatinya. Di satu sisi, ada kebahagiaan dan rasa nyaman saat merasakan perhatian Meshal terhadap anak mereka. Namun, di sisi lain, ada keraguan dan rasa sakit dari luka-luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.

Meshal melanjutkan, "Aku berjanji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu dan anak kita. Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku, dan aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali kepercayaanmu, meskipun aku tahu itu tidak mudah."

Clemira terdiam, merasa hatinya mulai goyah. Dia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dalam dirinya yang masih mencintai Meshal, meskipun semua yang terjadi. Namun, luka itu masih ada, dan untuk bisa sepenuhnya memaafkan dan menerima Meshal kembali, butuh waktu.

“Aku… Aku tidak tahu, Meshal,” ucap Clemira akhirnya, suaranya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. “Banyak hal yang terjadi, dan aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”

Meshal mengangguk, memahami kesulitan yang dihadapi Clemira. “Aku tidak akan memaksamu. Aku akan menunggu, dan aku akan membuktikan bahwa aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”

Mereka berdua terdiam sejenak, namun keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Ada semacam pengertian yang terbangun di antara mereka, sebuah harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, luka-luka itu bisa sembuh dan mereka bisa memulai kembali dari awal, untuk anak mereka.

Aidl, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, meski masih marah, tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa lega melihat interaksi tersebut. Namun, dia tahu perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan.

Rahasia di Balik Istana Pasir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang