Di suatu tempat yang jauh dari gemerlap Jakarta, di dalam sebuah ruangan yang gelap dan misterius, seorang pria paruh baya duduk di kursi kulit besar, menghadap layar besar yang menampilkan berita tentang keretakan pernikahan antara Meshal Zayd Arrashad dan Clemira Mahreen El Sherif. Senyumnya yang dingin terlihat jelas di bawah pencahayaan yang minim, menambah kesan menakutkan pada wajahnya yang penuh teka-teki.
Di ruangan itu, hanya ada sedikit cahaya yang berasal dari lampu kecil di sudut ruangan, memancarkan kilau redup yang tidak cukup untuk menerangi keseluruhan tempat tersebut. Di meja kayu yang berada di depannya, tergeletak beberapa dokumen rahasia dan peta yang penuh dengan catatan-catatan yang terlihat seperti rencana strategis.
Seorang pria lain, lebih muda, berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh penghormatan. Pria muda itu mengenakan setelan jas rapi, dengan tangan terlipat di belakang, menunggu instruksi lebih lanjut. Ia juga tak bisa menyembunyikan senyumnya saat melihat layar di depan mereka.
"Seperti yang sudah kuduga, semua berjalan sesuai rencana," kata pria paruh baya itu dengan nada suara yang rendah namun penuh kekuatan. Suaranya serak, namun memiliki ketenangan yang menakutkan.
"Hubungan mereka semakin memburuk di depan publik, dan tekanan dari media akan menghancurkan sisa-sisa kepercayaan yang mereka miliki satu sama lain," lanjutnya sambil meraih secangkir kopi di sampingnya, menyesapnya dengan perlahan.
Pria yang lebih muda itu mengangguk, "Benar, Tuan. Semakin mereka terpisah, semakin mudah bagi kita untuk melancarkan langkah selanjutnya. Dengan keluarga El Sherif yang semakin lemah, waktu kita untuk mengambil alih semakin dekat."
Pria paruh baya itu tertawa kecil, tawa yang terdengar getir dan dingin. "Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan kita sekarang. Bahkan jika mereka mencoba memperbaiki hubungan mereka, itu sudah terlalu terlambat. Kita sudah berada di depan mereka, dengan setiap langkah sudah direncanakan."
Ruangan itu kembali sunyi, hanya terdengar dengungan pelan dari peralatan elektronik di sekitar mereka. Ekspresi puas di wajah pria paruh baya itu semakin jelas, memperlihatkan betapa ia menikmati setiap momen dari keruntuhan hubungan yang diawasi dengan cermat olehnya.
"Pastikan tidak ada kesalahan," perintahnya, suaranya tiba-tiba menjadi serius. "Kita tidak boleh ceroboh di tahap ini. Jika kita berhasil, semuanya akan menjadi milik kita."
Pria muda itu membungkukkan kepala sedikit, tanda menerima perintah, dan dengan cepat meninggalkan ruangan, membiarkan pria paruh baya itu kembali menikmati kesuksesan yang sudah hampir berada di tangannya.
Saat pintu tertutup dengan pelan, pria paruh baya itu duduk lebih dalam di kursinya, menikmati rasa kemenangan yang sudah sangat dekat. Di balik senyumnya yang licik, ada ambisi yang terpendam lama, menunggu saat yang tepat untuk meledak. Dan kini, dengan semua potongan rencana yang hampir sempurna, dia tahu saat itu akan segera tiba.
...
Clemira merasa semakin tertekan oleh segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Setiap hari, dia mencoba untuk menghindari Emir dan Meshal-dua pria yang pernah begitu berarti baginya, namun kini hanya menambah beban di hatinya. Setiap kali dia melihat nama mereka muncul di layar ponselnya, jantungnya berdebar tak menentu, bukan karena cinta, tetapi karena rasa sakit dan kebingungan yang terus menghantuinya.
Salma, sahabat setianya, selalu ada di samping Clemira. Salma memahami situasi sulit yang sedang dialami oleh Clemira. Dia menjadi sandaran utama Clemira di tengah badai yang sedang melanda hidupnya. Setiap pagi, Salma datang ke rumah keluarga El Sherif. Salma selalu membawa senyum hangat, mencoba menghibur Clemira yang tampak semakin muram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia di Balik Istana Pasir (END)
Novela Juvenil"Kau tahu, Clemira," Meshal mulai berbicara, suaranya penuh ketenangan yang menakutkan. "Aku bukan hanya suamimu. Aku juga akan menjadi orang yang mengambil alih apa yang kau miliki. Keluargamu... perusahaanmu... semua itu akan menjadi milikku." Cle...