O2. Terasing di Rumah sendiri

20 7 0
                                    

...

Keesokan paginya, saat matahari baru mulai menerangi kamar, Clemira sudah terjaga dan duduk di meja kerjanya, menyelesaikan beberapa pekerjaan ringan. Hatinya masih terasa berat, dan dia berusaha untuk fokus pada tugas-tugasnya meskipun pikirannya dipenuhi dengan campur aduk perasaan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja, menandakan adanya panggilan masuk.

Dengan sedikit rasa terkejut, Clemira membaca sebentar dari layar handphonenya yang ternyata itu panggilan dari Sang Ibu-Ameerah Maisha Zara. Dia segera menjawab panggilan itu, suara Ibunya terdengar khawatir namun penuh kasih sayang.

"Assalamu'alaikum, Ila," suara Ameerah terdengar lembut dan penuh perhatian, membawa kehangatan yang mengalir ke dalam hati Clemira.

"Wa'alaikumussalam, Ummah," jawab Clemira dengan nada yang lelah, menggelengkan kepalanya seakan ingin mengusir rasa penat yang menyelimutinya.

"Apa kabar, sayang?" tanya Ameerah, nada suaranya sarat dengan rasa khawatir. "Ummah baru saja memikirkanmu. Bagaimana keadaan pernikahanmu? Apakah kamu baik-baik saja?"

Clemira menarik napas dalam-dalam, merasakan rasa campur aduk yang memenuhi dadanya. "Aku baik-baik saja, Ummah," jawabnya, meskipun dalam hatinya, keraguan terus menggelayuti. "Pernikahan ini... sulit, tapi aku berusaha menyesuaikan diri. Hanya saja... segalanya tidak seperti yang aku bayangkan."

"Apa maksudmu?" Ameerah bertanya dengan nada prihatin, seolah merasakan kesedihan yang mengintai dalam suara putrinya. "Apakah ada yang salah? Ceritakan pada Ummah."

Clemira menundukkan kepalanya, seolah ingin menampung semua rasa sakit yang menggebu. "Semuanya terasa berbeda dari apa yang aku harapkan. Meshal... dia sangat berbeda dari yang aku bayangkan. Kami jarang berbicara, dan rasanya seolah dia tidak peduli sama sekali," kata Clemira, air mata mulai membasahi pipinya.

"Sayang, hubungan apa pun memerlukan waktu dan usaha dari kedua belah pihak. Mungkin ada sesuatu yang mengganggunya? Kamu tahu Meshal pasti memiliki alasan," Ameerah berusaha memberikan penghiburan.

"Tapi, Ummah," Clemira melanjutkan, "aku merasa terasing. Dia lebih memilih mengurung diri dalam dunianya, terjebak dengan semua masalahnya. Bahkan, saat aku mencoba mengajaknya bicara, dia selalu menjawab dengan dingin dan kasar."

Ameerah terdiam sejenak, mencoba mencerna isi hati putrinya. "Ila, kadang-kadang orang lain memiliki pertarungan tersendiri yang tidak bisa kita lihat. Mereka mungkin berjuang mencari solusinya sendiri tanpa ingin membuat kita khawatir. Cobalah untuk bersabar dan memberi dukungan tanpa mengandalkan jawaban langsung darinya."

"Namun, Ummah," Clemira hampir berteriak, kesedihan dan frustrasi berpadu dalam suaranya. "Sangat sulit untuk memahami jalan pikirannya ketika dia terus terpisah dariku! Aku ingin menjadi temannya, bukan hanya sekadar istri yang diabaikan!"

"Sayangku, Ummah mengerti," sahut Ameerah pelan, suaranya penuh kasih. "Semua proses ini membutuhkan ketekunan. Cobalah untuk membuka hati, mungkin suatu saat dia akan berbagi beban dan saling memahami."

Clemira mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Aku akan berusaha, Ummah. Namun, terkadang aku merasa putus asa. Bagaimana jika dia tidak pernah berubah?"

"Biarkan waktu yang menjawab, dan jangan lupa disertai doa. Semoga Allah memberikan kalian jalan yang lebih baik," ujar Ameerah, semangat dan harapan mulai membara dalam suaranya.

"Terima kasih, Ummah. Aku merasa sedikit lega setelah berbicara denganmu," jawab Clemira, berusaha tersenyum meskipun di dalam hatinya ada keraguan.

"Ila, Ummah tahu ini adalah masa yang sulit bagimu. Tapi ingatlah bahwa Ummah dan Baba selalu ada untukmu, meskipun kami tidak bisa selalu berada di sisimu. Terkadang, kesulitan seperti ini bisa memerlukan waktu untuk diatasi. Cobalah untuk bersabar dan berbicara dengan Meshal tentang perasaanmu. Mungkin ada baiknya juga untuk mencari waktu bersama yang bisa membuat kalian lebih dekat."

Rahasia di Balik Istana Pasir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang