Hari-hari di Mesir terasa panjang dan melelahkan bagi Clemira. Meskipun Salma dan Elvira selalu berada di sisinya, kekosongan yang ditinggalkan oleh Meshal semakin sulit untuk diabaikan. Setiap malam, ketika dia berbaring di tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi oleh kenangan tentang suaminya yang penuh dengan ketidakpastian. Namun, ada satu hal yang semakin menghantuinya—apakah dia benar-benar bisa melanjutkan hidupnya dengan Meshal setelah semua yang terjadi?
Suatu sore, saat Clemira sedang duduk di balkon rumah Salma, menghirup udara sore yang segar sambil mencoba menenangkan pikirannya, telepon rumah tiba-tiba berdering. Elvira yang berada di dalam rumah mengangkat telepon itu, dan beberapa saat kemudian, dia muncul di balkon dengan wajah yang terlihat sedikit bingung namun penuh harapan.
"Clemira," panggil Elvira lembut, "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Dia sudah menunggu di ruang tamu."
Clemira mengerutkan kening, merasa aneh dengan kedatangan tamu yang tak diduga. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya, dan dia bangkit dari kursinya, berjalan perlahan menuju ruang tamu. Saat dia melangkah masuk, dia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di sana, berdiri seorang pria dengan postur tinggi tegap, mata hitamnya yang tajam menatap Clemira dengan ekspresi lembut namun penuh kesungguhan. Itu adalah Emir—pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, pria yang dulu dia harapkan akan menjadi masa depannya.
"Emir..." Clemira terkejut, suaranya nyaris tak terdengar. Ada rasa campur aduk dalam hatinya, antara kegembiraan dan kebingungan. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Emir tersenyum kecil, sebuah senyuman yang penuh dengan kehangatan dan rasa simpati. "Aku mendengar tentang apa yang terjadi, Clemira. Dan aku merasa aku harus datang. Aku tak bisa membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian."
Clemira merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dia berusaha keras menahan diri, tapi kehadiran Emir membuat pertahanannya runtuh. Selama ini, dia selalu mencoba terlihat kuat, tapi kini, di hadapan Emir, semua luka yang dia coba sembunyikan terungkap. "Aku... aku tak tahu harus berkata apa, Emir. Hidupku benar-benar kacau."
Emir melangkah mendekat, tatapannya penuh dengan ketulusan. "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, Clemira. Aku di sini untuk mendengarkan, untuk mendukungmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu menghadapi semua ini sendirian."
Clemira menundukkan kepalanya, merasa beban yang selama ini dia pikul mulai sedikit terangkat. Ada sesuatu dalam diri Emir yang membuatnya merasa lebih tenang, lebih aman. Tapi di saat yang sama, ada rasa bersalah yang mulai muncul dalam dirinya. Bagaimana mungkin dia bisa merasakan kedamaian saat bersama Emir, ketika dia seharusnya fokus pada pernikahannya dengan Meshal?
Salma dan Elvira, yang diam-diam mengamati dari kejauhan, saling bertukar pandang. Mereka bisa melihat betapa pentingnya kehadiran Emir bagi Clemira saat ini. Meskipun keduanya tahu bahwa ini bisa mempersulit keadaan, mereka juga mengerti bahwa Clemira membutuhkan seseorang seperti Emir untuk membantunya melewati masa-masa sulit ini.
Salma, yang lebih rasional, akhirnya memutuskan untuk memberikan Clemira sedikit privasi. "Mungkin lebih baik kita beri mereka waktu, Elvira," bisiknya. Elvira mengangguk setuju, meskipun ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya.
Clemira tetap duduk dengan tegang di sofa saat Emir melangkah mendekat. Ada kilatan emosi dalam matanya, tapi dia dengan cepat menahan diri, mengingat statusnya sebagai istri Meshal.
Clemira tidak ingin membiarkan perasaannya mengaburkan batas-batas yang seharusnya dia jaga. Emir, yang memperhatikan perubahan sikap Clemira, menghentikan langkahnya beberapa meter darinya, menghormati jarak yang dia ciptakan.
"Emir, aku menghargai kedatanganmu. Tapi... kita tidak bisa terlalu dekat seperti dulu," ujar Clemira dengan suara lembut tapi tegas, matanya menunduk. Ada perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya, karena di saat ini, dia harus mengakui bahwa dia merindukan kehangatan yang dulu pernah dia rasakan bersama Emir. Tapi, dia tahu bahwa sekarang bukanlah waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Dia masih istri Meshal, dan Emir bukanlah mahramnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia di Balik Istana Pasir (END)
Teen Fiction"Kau tahu, Clemira," Meshal mulai berbicara, suaranya penuh ketenangan yang menakutkan. "Aku bukan hanya suamimu. Aku juga akan menjadi orang yang mengambil alih apa yang kau miliki. Keluargamu... perusahaanmu... semua itu akan menjadi milikku." Cle...