#LIMA

229 23 1
                                    

Salina melotot menatap keduanya tak percaya. Bagaimana bisa kedua lelaki itu malah saling sapa dan saling berpelukan seperti sudah lama mengenal satu sama lain.

"Pa-papa kenal?"

Ayah Salina tak menjawab ucapan Salina. Ia malah merangkul lelaki itu dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah.

"Ayo masuk... Masuk"

Salina gelisah, panik dan tak percaya melihat keakraban kedua lelaki itu. Bahkan sangking tidak tenangnya ia memikirkan itu semua Salina tak sengaja menggigit-gigit ibu jarinya. Menurutnya bukan seperti ini skenario yang ia inginkan.

Tuhan bukan kaya gini

Salina akhirnya ikut masuk ke dalam rumah. Ia langsung duduk di sofa ruang tamu. Di samping lelaki itu.

Ayah Salina menatap wajah putrinya dan lelaki itu sambil tertawa bahagia. "Kalau kaya gini kan Papa nggak perlu repot-repot lagi untuk jodohin kalian berdua"

Lelaki itu mengerutkan keningnya seraya menoleh menatap Salina. Tatapannya seperti menuntut penjelasan pada Salina.

"Sal... ini laki-laki yang waktu itu Papa bilang ke kamu. Dia Liandra Sagara, anak Almarhum Sandro, sahabat Papa waktu sekolah dulu. Lian ini lulusan ilmu gizi dan sekarang lagi ngejalani bisnis katering sama coffee shop. Bener kan Lian?"

Lian mengangguk menatap ayah Salina.

"Oh... Jadi maksud Pak Darmaji Minggu lalu mengajak saya makan malam di luar itu apa karena mau membicarakan hal ini, ya Pak?", tanya Lian memastikan.

Ayah Salina hanya mengangguk mengiyakan ucapan Lian.

"Tapi waktu itu Papa bilang ke Salina namanya Aga"

Ayah Salina mengangguk seraya terkekeh pelan. "Itu panggilan di rumahnya, Sal. Dulu itu pas masih kecil dia suka dipanggil Aga sama orang tuanya. Jadinya terkadang Papa nggak sengaja ikutan manggil dia Aga. Yaa nama panggilan aslinya Lian"

Kini giliran Salina yang menoleh menatap lelaki itu. Menuntut penjelasan dengan tatapan tajamnya.
 
"Jadi gimana? Kalian berdua beneran sudah pacaran? Salina bilang sudah pacaran selama dua bulan"

Keduanya tak menjawab. Mereka berdua terdiam cukup lama hingga akhirnya Lian dengan cepat menyenggol-nyenggol pelan lengan Salina.

"Iyaa Pa", jawab Salina singkat disertai anggukan kecil darinya.

Senyum ayah Salina terkembang begitu sempurna. Ia meraih bantal sofa lalu mendekap bantal itu sambil terus memandangi keduanya.

"Kalau begitu kapan kalian mau lanjut ke jenjang yang—"

"Papa!!!", teriak Salina tiba-tiba. Ucapan ayahnya dengan cepat dipotong oleh Salina.

"Ken—"

"Kalau soal itu... Kami belum ada rencana Pak", sahut Lian tiba-tiba lalu menatap ke arah Salina.

Salina yang mendengarnya lantas membulatkan matanya. Ia langsung menoleh menatap Lian yang malah berakhir menjadi saling tatap-menatap.

"Saya sama Salina masih belum cukup mengenal satu sama lain, Pak", ucap Lian sambil menaik-turunkan sebelah alisnya menatap Salina.

Salina hanya diam saja. Otaknya seketika tak bisa diajak berpikir untuk saat ini. Tapi untungnya lelaki di sampingnya itu bisa menangani situasi menyulitkan ini dan bisa dengan leluasa memainkan pertunjukan sandiwara yang telah dibuatnya.

"Tapi kalau bisa secepatnya lah. Papa seratus persen sudah ngasih restu ke kalian berdua. Jadi gausah terlalu lama"

Lian hanya senyum-senyum memandang pria paruh baya di depannya. Sementara Salina cemas memikirkan nasib dirinya di masa depan jika sungguhan menikah dengan lelaki yang duduk di sampingnya saat ini.

Pentas Cinta (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang