#TUJUH

261 27 1
                                    

Liandra POV

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya gue menyetujui ajakan Salina —yang akhirnya gue tau nama wanita itu— dan kini gue berada di dalam mobilnya. Sebenarnya sampai detik ini gue juga masih belum tau kerja sama apa yang harus gue lakukan. Padahal uang sejumlah lima ratus ribu rupiah sudah berada di tangan gue.

"Kita mau kemana yaa, Mbak?"

Gue berusaha membuka obrolan diantara kami, tapi Salina tetap tak mau merespon ucapan gue. Kembali diam adalah satu-satunya cara terbaik untuk saat ini.

Selama di perjalanan gue hanya diam sambil menatap jalanan di depan sana. Diam bukan berarti gue diam kaya patung, mata gue gak berhenti memandangi interior dalam mobil atau sesekali gue mencuri pandang ke arah Salina. Bahkan kemeja robek gue pun gak luput dari pandangan gue. Yaa gue gak sengaja melirik ke arah bawah kemeja yang gue pakai, ada helaian-helaian benang disana dan ternyata setelah gue cek itu adalah helaian benang dari jahitan kemeja gue yang terlepas.

Sisi kiri kemeja yang gue pakai ternyata sudah robek. Gue gak ingat kenapa bisa robek padahal tadi pagi sebelum gue pakai kemeja itu baik-baik aja. Gue menggeleng pelan lalu menoleh ke samping menatap Salina yang masih fokus menyetir.

"Ehm, boleh berhenti di depan sana nggak Mbak? Saya mau beli sepatu, baju sama celana. Soalnya tampilan saya kaya gini Mbak, cuma pake kemeja jelek, celana pendek sama sendal aja"

"Gak kemana-mana kok Mas. Kita nggak ketemu orang penting banget. Mas bisa simpan uangnya untuk beli keperluan Mas yang lain"

Sial! Otak gue beneran jadi mikir yang nggak-nggak. Gue beneran penasaran, mau dibawa kemana gue sama wanita ini?

"Yakin ni Mbak? Gapapa kalo saya kaya begini?"

"Gapapa Mas"

Gue akhirnya memilih bodo amat dengan penampilan gue karena ucapan Salina barusan. 
 
Mobil Salina mendadak berbelok dan masuk ke dalam gerbang perumahan yang sangat gak asing menurut gue. Untuk sesaat gue merasa sedikit familiar dan sepertinya pernah masuk ke dalam komplek perumahan ini. Akses gerbang masuk perumahan yang sulit sudah menandakan kalau komplek perumahan ini ditujukan untuk kalangan menengah ke atas. Sepanjang jalan gue hanya bisa melihat deretan rumah bertingkat yang hampir terlihat mirip satu sama lain.

Salina menghentikan mobilnya tepat di depan rumah berwarna putih dengan nomor 22-C. Gue masih terus berusaha mengingat-ingat rumah ini tapi tetap saja tak ada satu pun ingatan mengenai rumah di depan gue ini. Meskipun gue masih merasa nggak asing.

Setelah mendengar arahan dari Salina gue keluar dari dalam mobil dan berjalan pelan di belakang Salina sambil mata gue yang masih menjelajahi sekitaran rumah wanita itu.

Begitu sampai di depan teras rumahnya, Salina meminta gue untuk duduk menunggu sementara dia masuk ke dalam rumahnya. Hampir sepuluh menit gue menunggu, akhirnya wanita itu keluar dari dalam rumahnya. Dia mendadak menarik tangan gue hingga membuat gue langsung berdiri, kemudian tangannya dengan leluasa menggandeng lengan kanan gue.

"Ini pacar Salina Pa"

Gue sungguh terkejut. Bukan terkejut dengan ucapan wanita itu melainkan terkejut dengan kehadiran pria paruh baya di depan gue.

Gue kenal betul dengan pria paruh baya di depan gue ini. Pria itu Pak Darmaji, sahabat Almarhum bokap gue. Gue terakhir ketemu beliau tiga bulan lalu karena waktu itu beliau memakai jasa katering gue untuk acara peresmian gudang baru tempat produksi usaha mebelnya.

Dulu itu bokap gue dan Pak Darmaji merintis usaha mebel bersama-sama. Mereka berdua bersama-sama belajar bagaimana caranya mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi, seperti kayu dan rotan menjadi produk-produk mebel yang lebih bernilai dan bermanfaat, seperti lemari, kursi, meja dan yang barang lainnya. Usaha mebel bokap gue lebih cenderung berfokus pada pengolahan rotan sementara usaha mebel yang dijalankan oleh Pak Darmaji lebih berfokus pada pembuatan mebel berbahan dasar kayu jati. Meskipun sama-sama merintis usaha industri mebel tak pernah terdengar sedikitpun persaingan diantara mereka, yang ada mereka selalu membantu satu sama lain.

Tapi semenjak bokap meninggal karena penyakit diabetes, usaha mebel milik bokap sudah gak terurus lagi karena waktu bokap meninggal gue masih kelas tujuh SMP dan Bang Jonathan—abang kandung gue— masih kelas dua belas SMA dan ditambah waktu itu nyokap juga seorang ibu rumah tangga biasa yang sama sekali gak ngerti caranya ngurusin usaha mebel tersebut. Waktu itu keluarga gue benar-benar terpuruk secara ekonomi pasca ditinggal bokap dan akhirnya Pak Darmaji berinisiatif membeli kepemilikan usaha mebel milik bokap dan uang hasil penjualan itu digunakan nyokap gue untuk membesarkan gue dan Bang Jonathan. Begitulah kenapa gue kenal dengan sosok Pak Darmaji. Selama ini yang gue kenal cuma Pak Darmaji dan Bu Lita, istrinya. Gue sama sekali nggak pernah tau soal Salina, anak perempuan Pak Darmaji.

"Pak Darmaji?"

"Aga?"

Gue dan Pak Darmaji kaget tak percaya hingga terjadi saling tunjuk diantara kami. Gue sungguh gak nyangka bisa ketemu Pak Darmaji disini. Pak Darmaji langsung menarik gue dan memeluk gue dengan sangat erat. Setelah itu, gue dibawa masuk ke dalam rumahnya. Jika dilihat dari raut wajahnya, beliau terlihat senang sekali ketika bertemu dengan gue.

"Kalau kaya gini Papa nggak perlu repot-repot lagi untuk jodohin kalian kan?"

Gue akhirnya tahu bahwa Salina membawa gue cuma untuk dijadikan pacar bohongannya. Salina sepertinya menolak perjodohan yang dilakukan oleh Pak Darmaji.

Gue sebenarnya senang-senang aja ketika pak Darmaji bilang mau menjodohkan gue dengan anaknya yang artinya gue gak perlu lagi susah-susah buat ngedeketin Salina. Tapi di sisi lain gue juga merasa kasihan dengan Salina. Wanita itu berniat menentang perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya, tapi apa daya orang yang ternyata dijodohkan olehnya itu gue. Dan gue orang yang dibawa oleh Salina untuk dikenalkan ke orang tuanya. Bukannya batal malah perjodohan ini berlanjut.

Selama pertemuan gue dan Pak Darmaji sore itu. Gue terus-menerus mengamati perubahan ekspresi yang terjadi di wajah Salina. Wajah lesu dengan ekspresi tak bersemangat itu terlihat persis sama seperti yang gue lihat dua hari lalu.

"Salina....."

Gue akhirnya memberanikan diri memanggil nama Salina. Salina menoleh menatap gue dengan tatapan tajamnya.

"Kenapa kamu bohong soal nama kamu? Kenapa bohong soal status pekerjaan kamu? Terus kenapa kamu juga gak bilang ke saya kalau kenal sama papa?"

Gue seketika dibombardir oleh pertanyaan beruntun darinya.

"Saya minta maaf kalau soal nama. Saya memang sengaja pake nama samaran karena menghindari hal yang tidak diinginkan. Saya berhak melindungi identitas saya karena saya benar-benar tidak tahu menahu soal rencana kamu. Dan kalau soal pak Darmaji, saya beneran tidak tahu kalau kamu anaknya pak Darmaji, kamu juga tidak memberi saya informasi apa-apa selain menyuruh saya untuk mengiyakan semua perkataan kamu"

Salina terdiam setelah mendengar ucapan gue. Tanpa babibu, wanita itu langsung menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumahnya.

Sesampainya di parkiran coffee shop, gue benar-benar terkejut waktu Salina menarik tangan gue dan memberikan segepok uang sisa pembayaran kerja sama tadi. Tak menolak sedikit pun, gue dengan senang hati menerima uang itu seraya tersenyum tipis menatap Salina.

*****

Jam menunjukkan pukul sembilan saat gue keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Hujan gerimis yang turun malam ini membuat hawa dingin sangat terasa menusuk kulit meskipun gue sudah memakai kaos tebal dan celana panjang.

Gue tiba-tiba kepikiran Salina sebelum berbaring ke atas ranjang. Pertemuan dengan Pak Darmaji dan Salina sore tadi membuat gue tiba-tiba membayangkan sebuah pernikahan yang terdapat sebuah keluarga kecil bahagia di dalamnya.

Gue ingat benar saat Salina mengatakan dengan lantang di depan Pak Darmaji kalau gue pacarnya dan gue juga mengingat soal ucapan Pak Darmaji yang memberi restu tentang hubungan gue dan Salina. Tapi melihat cara Salina membohongi Pak Darmaji dengan membawa gue sebagai pacar bohongannya membuat gue jadi berpikir kalau Salina tidak akan bersungguh-sungguh soal pernikahan dan gue juga berpendapat kalau wanita itu sepertinya sangat sulit untuk ditaklukkan.

~TBC~

Pentas Cinta (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang